Selasa, 02 Desember 2014

KELOMPOK 11 ( Trauma Lahir, Perdarahan Intrakranial)

BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Trauma lahir intrakranial pada neonatus umumnya berupa perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat terjadi akibat trauma mekanis, trauma hipoksik, atau gabungan keduanya. Dengan kemajuan bidang obstetri, trauma lahir mekanis umumnya dapat dihindari atau dikurangi, tetapi trauma hipoksik sering lebih sukar untuk dihindari. Trauma hipoksik yang terjadi pada bayi kurang bulan atau bayi prematur sering menimbulkan terjadinya perdarahan intrakranial. Hal ini disebabkan masih imaturnya susunan saraf pusat, sistem sirkulasi serebral, dan sistem autoregulasi bayi kurang bulan. Pada waktu ini perdarahan intrakranial pada neonatus lebih sering dijumpai pada bayi kurang bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Lokasi
perdarahan intrakranial dapat terjadi ekstraserebral seperti perdarahan dalam rongga subdural atau rongga subaraknoid. Selain itu dapat pula ditemukan di parenkim serebrum atau serebelum, atau masuk ke dalam ventrikel yang berasal dari perdarahan di matriks germinal subependimal atau pleksus koroid.(6)
Klasifikasi perdarahan intrakranial pada neonatus menurut Volpe, dalam garis besarnya secara klinis dibagi dalam empat jenis, yaitu : (1) Perdarahan subdural, pada bayi cukup bulan lebih sering dijumpai dibandingkan dengan bayi kurang bulan, umumnya faktor penyebabnya berupa trauma. (2) Perdarahan subaraknoid primer, pada bayi kurang bulan lebih sering dijumpai dibandingkan bayi cukup bulan, umumnya faktor penyebabnya berupa trauma atau faktor hipoksia. (3) Perdarahan intraserebelar, umumnya dijumpai pada bayi kurang bulan yang disebabkan oleh faktor hipoksia atau mungkin oleh faktor trauma. (4) Perdarahan periventrikular-intraventrikular, dijumpai pada bayi kurang bulan, umumnya disebabkan faktor hipoksia

B.   Rumusan masalah
1.     Apa Pengertian Perdarahan Intrakranial ?
2.     Apa Penyebab Terjadinya Perdarahan Intrakranial ?
3.     Apa Gejala Perdarahan Intrakranial ?
4.     Bagaimana Penatalaksanaan Perdarahan Intrakarnial ?



C.   TUJUAN
1.     Agar mahasiswa dapat mengetahui definisi perdarahan intracranial.
2.     Agar mahasiswa dapat mengetahui penyebab terjadinya perdarahan intracranial.
3.     Agar mahasiswa dapat mengetahui gejala perdarahan intracranial.
4.     Agar mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan perdarahan intracranial










BAB II
PEMBAHASAN

A.   DEFINISI
Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak.

Perdarahan bisa terjadi di dalam otak atau di sekeliling otak:
- Perdarahan yang terjadi di dalam otak disebut perdarahan intraserebral
- Perdarahan diantara otak dan rongga subaraknoid disebut perdarahan subaraknoid
- Perdarahan diantara lapisan selaput otak (meningen) disebut perdarahan subdural
- Perdarahan diantara tulang tengkorak dan selaput otak disebut perdarahan epidural.

            Setiap perdarahan akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel otak. Ruang di dalam tulang tengkorak sangat terbatas, sehingga perdarahan dengan cepat akan menyebabkan bertambahnya tekanan dan hal ini sangat berbahaya.

Perdarahan intrakranial pada neonatus (PIN) tidak jarang dijumpai. PIN mempunyai arti penting karena dapat menyebabkan kematian atau cacat jasmani dan mental
Perdarahan Intrakranial Neonatus ialah perdarahan dalam rongga kranium dan isinya pada bayi sejaklahir sampai umur 4 minggu. Sebabnya banyak. Sering Perdarahan Intrakranial Neonatus tak dikenal/dipikirkan karena gejala gejalanya tidak khas. Perdarahan Intrakranal Neonatus meliputi perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, intraserebral/parenkim dan intraventrikuler.
B.       INSIDENSI

            Dilaporkan angka berbeda-beda tentang insidensi Perdarahan Intrakranial Neonatus. Holt 3 menemukan pada otopsi bayi-bayi lahir mati dan yang meninggal dalam 2 minggu pertama, 30% PI. Menurut Saxena 4 13,1% kematian perinatal oleh PI. Angka kematian PI pada bayi prematur 5x lebih tinggi daripada bayi cukup bulan (BCB). Laki-laki : perempuan = 5 : 2,7 (Saxena), 1,9 : 1 (Banerjee) 4 , 6

C.      ETIOLOGI

• Trauma kelahiran
1.      partus biasa.

– pemutaran/penarikan kepala yang berlebihan.
– disproporsi antara kepala anak dan jalan lahir sehingga terjadi mulase 6 .
2.      partus buatan (ekstraksi vakum, cunam).

3.      Partus presipitatus.

•    Bukan trauma kelahiran:





Umumnya ditemukan pada bayi kurang bulan (BKB). Faktor dasar ialah prematuritas dan yang lain merupakan faktor pencetus PIN seperti hipoksia dan iskemia otak yang dapat timbul pada syok, infeksi intrauterin, asfiksia, kejang - kejang, kelainan jantung bawaan, hipotermi, juga hiperosmolaritas/hipernatremia 1,5,7 Ada pula PIN yang disebabkan oleh penyakit perdarahan/gangguan pembekuan darah.





D.      PATOGENESIS

Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/ robekan pembuluh – pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan yang bukan karena trauma kelahiran, faktor dasar ialah prematuritas; pada bayi-bayi tersebut, pembuluh darah otak masih embrional dengan dinding tipis, jaringan penunjang sangat kurang dan pada beberapa tempat
tertentu jalannya berkelok kelok, kadang – kadang membentuk huruf U sehingga mudah sekali terjadi kerusakan bila ada faktor – faktor pencetus (hipoksia/iskemia). Keadaan ini ter- utama terjadi pada perdarahan intraventrikuler/periventrikuler.


            Perdarahan epidural/ ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau vena meningika media antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini jarang ditemukan pada neonatus. Tetapi perdarahan subdural merupakan jenis Perdarahan Intrakranial Neonatus yang banyak dijumpai pada BCB. Di sini perdarahan terjadi akibat pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan sinus-sinus pada duramater. Perdarahan subdural lebih sering pada BCB daripada BKB. sebab pada BKB vena-vena superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak sangat jarang terjadi 6 . Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan membentuk hematoma subdural. Pada robekan tentorium serebeli atau vena galena dapat terjadi hematoma retroserebeler. Gejala-gejala dapat timbul segera dapat sampai berminggu-minggu, memberikan gejala – gejala kenaikan tekanan intrakranial. Dengan kemajuan dalam bidang obstetri, insidensi perdarahan subdural sudah sangat menurun. (Cermin Dunia Kedokteran No. 41, 1986 43)

Pada perdarahan subaraknoid, perdarahan terjadi di rongga subaraknoid yang biasanya ditemukan pada persalinan sulit. Adanya perdarahan subaraknoid dapat dibuktikan dengan
fungsi likuor. Pada perdarahan intraserebral/intraserebeler, perdarahan terjadi dalam parenkim otak, jarang pada neonatus karena hanya terdapat pada trauma kepala yang sangat hebat (ke-
celakaan)
            Perdarahan intraventrikuler dalam kepustakaan ada yang gabungkan bersama perdarahan intraserebral yang disebut perdarahan periventrikuler 7. Dari semua jenis Perdarahan Iintrakranial Neonatus, perdarahan periventrikuler meme- gang peranan penting, karena frekuensi dan mortalitasnya tinggi pada bayi prematur. Sekitar 75–90% perdarahan peri ventrikuler berasal dari jaringan subependimal germinal matriks/jaringan embrional di sekitar ventrikel lateral.
            Pada perdarahan intraventrikuler, yang berperanan penting ialah hipoksia yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan kongesti vena. Bertambahnya aliran darah ini, meninggikan tekanan pembuluh darah otak yang diteruskan ke daerah anyaman kapiler sehingga mudah ruptur. Selain hipoksia, hiperosmolaritas pula dapat menyebabkan perdarahan
intraventrikuler 1 Hiperosmolaritas antara lain terjadi karena hipernatremia akibat pemberian natrium bikarbonat yang berlebihan/plasma ekspander. Keadaan ini dapat meninggikantekanan darah otak yang diteruskan ke kapiler sehingga dapat pecah.

E.   GAMBARAN KLINIK

            Gejala-gejala Perdarahan Intrakranial tidak khas, dan umumnya sukar didiagnosis jika tidak didukung, oleh riwayat persalinan yang jelas. Gejala-gejala berikut dapat ditemukan :

• Fontanel tegang dan menonjol oleh kenaikan tekanan intrakranial, misalnya pada perdarahan subaraknoid.
• Iritasi korteks serebri berupa kejang-kejang, irritable, twitching, opistotonus. Gejala-gejala ini baru timbul beberapa jam setelah lahir dan menunjukkan adanya perdarahan subdural , kadang-kadang juga perdarahan subaraknoid oleh robekan tentorium yang luas.
• Mata terbuka dan hanya memandang ke satu arah tanpa reaksi. Pupil melebar, refleks cahaya lambat sampai negatif. Kadang-kadang ada perdarahan retina, nistagmus dan eksoftalmus.
• Apnea: berat dan lamanya apnea bergantung pada derajat perdarahan dan kerusakan susunan saraf pusat. Apnea dapat berupa serangan diselingi pernapasan normal/takipnea dan sianosis intermiten.
• Cephalic cry (menangis merintih).
• Gejala gerakan lidah yang menjulur ke luar di sekitar bibir seperti lidah ular (snake like flicking of the tongue) menunjuk- kan perdarahan yang luas dengan kerusakan pada korteks 9.
• Tonus otot lemah atau spastis umum. Hipotonia dapat berakhir dengan kematian bila perdarahan hebat dan luas. Jika perdarahan dan asfiksia tidak berlangsung lama, tonus otot akan segera pulih kembali. Tetapi bila perdarahan berlangsung lebih lama, flaksiditas akan berubah menjadi spastis yang menetap. Kelumpuhan lokal dapat terjadi misalnya kelumpuhan otot-otot pergerakan mata, otot-otot muka/anggota gerak (monoplegi/hemiplegi) menunjukkan perdarahan subdural/ parenkim. 44 Cermin Dunia Kedokteean No. 41, 1986
• Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan ialah gangguan kesadaran (apati, somnolen, sopor atau koma), tidak mau minum, menangis lemah, nadi lambat/cepat, kadang-kadang ada hipotermi yang menetap. Apabila gejala-gejala tersebut di atas ditemukan pada bayi prematur yang 24–48 jam sebelumnya menderita asfiksia, maka PI dapat dipikirkan. Berdasarkan perjalanan klinik, Perdarahan Intrakranial Neonatus dapat dibedakan 2 sindrom 7:

1. Salutatorysyndrome: gejala klinik dapat berlangsung berjam- jam/berhari-hari yang kemudian berangsur-angsur menjadi baik. Dapat serabuh sempurna tetapi biasanya dengan gejala sisa.
2. catastrophic syndrome. gejala klinik makin lama makin berat, berlangsung beberapa menit sampai berjam-jam dan akhirnya meninggal.

F.   PEMERIKSAAN PENUNJANG

• pemeriksaan likuor terutama untuk perdarahan subaraknoid dan intraventrikuler/periventrikuler. Tujuan fungsi lumbal pada Perdarahan Intrakranial Neonatus untuk diagnostik, sebagai pengobatan (mengurangi tekanan intrakranial) dan untuk mencegah komplikasi hidrosefalus (fungsi lumbal berulang-ulang). Pada pemeriksaan likuor dapat dijumpai tekanan yang meninggi, warna merah/santokrom, kadar protein meninggi, kadar glukose menurun. Bila cairan likuor berdarah, dianjurkan CT Scan untuk mengetahui lokalisasi dan luasnyaperdarahan.
• pada pemeriksaan darah dapat ditemukan:
– tanda-tanda anemi posthemoragik
– analisa gas darah (0 2 dan CO 2 )
–gangguan pembekuan darah terutama pada PIN yang non traumatik. Mc Donald dkk

mendapat kadar rendah fibrinogen, trombosit, antitrombin III faktor VIII 10. Faktor-faktor ini
menjadi normal bila keadaan bayi membaik.

• Foto kepala tidak dapat menunjukkan adanya perdarahan, hanya fraktur yang sukar  dibedakan dengan sutura, lipatan- lipatan kulit kepala dan mulase.
• Pemeriksaan ultrasonografi banyak digunakan. Berdasarkan USG, Burstein dkk menentukan derajat perdarahan intraven- trikuler sebagai berikut l1 derajat 0 : tidak ada perdarahan intrakranial.
derajat I : perdarahan hanya terbatas pada daerah sub- ependimal.
Deraja tII : perdarahan intraventrikuler.
derajat III : perdarahan intraventrikuler + dilatasi ventrikel.
derajat IV : perdarahan intraventrikuler + dilatasi ventrikel
dengan perluasan ke parenkim otak.

Derajat I, II umumnya ringan, pada pemeriksaan ulangan 3–4 minggu kemudian biasanya tidak ditemukan kelainan lagi. Derajat III ,IV umumnya berprognosis buruk, bila tidak
meninggal akan disertai komplikasi berat seperti hidrosefalus.
• Dengan computerized tomography (CT Scan) semua jenis PIN dapat diketahui 12. Cara ini tidak secara rutin karena biayanya sangat mahal.

G.      DIAGNOSIS

            Diagnosis Perdarahan Intrakranial sangat sukar, terutama bila tidak ada hubungan dengan trauma kelahiran karena gejala-gejalanya tidak khas. Khusus pada neonatus/BKB, sekitar 20% kasus dengan gejala- gejala yang diduga Perdarahan Intrakranial Neonatus, ternyata bukan. Oleh karena itu, Perdarahan Intrakranial  harus didiagnosis banding dengan beberapa penyakit pada neonatus yang memberikan gejala – gejala yang hampir sama, misalnya:        
• Infeksi pada bayi baru lahir/neonatus yang dapat memberikan gejala – gejala kesukaran bernapas (apnea, takipnea, siano- sis), lemah (letargi), kejang – kejang, muntah dan lain-lain.
Untuk membedakan dengan PIN yaitu riwayat persalinan seperti ketuban pecah dini, infeksi perinatal pada ibu, ketuban keruh/berbau. Yang agak khas pada infeksi ialah hepato splenomegali, ikterus, pneumoni 13. Selain itu lekositosis.
• Tetanus neonatorum dengan kejang – kejang, dibedakan dengan Perdarahan Intrakranial Neonatus karena partus tetanus neonatorum umumnya oleh dukun. TN hampir selalu terjadi pada akhir minggu pertama, bayi mula-mula minum baik dan tiba-tiba sukar minum karena trismus dan gejala lain.
• Penyakit metabolisme (hipoglikemi) yang dapat memberikan kejang letargi. Ibunya penderita DM dan perlu pemeriksaan kadar glukosa darah bayi.
• Kecanduan obat dari ibu, antara lain bayi kejang – kejang akibat ketergantungan vitamin B6
karena ibunya sebelumnya mendapat pengobatan vitamin B6 dosis tinggi. Dibedakan dengan Perdarahan Intrakranial Neonatus berdasarkan anamnesis dan pengobatan ex juvantibus pada bayi.
• Kelainan kongetinal saraf pusat memberikan gejala kejang dan letargi. Biasanya disertai kelainan kongenital lain, fungsi lumbal pada Perdarahan Intrakranial kadang-kadang ada perdarahan.
• Respiratory distress of the newborn dengan apnea, sianosis, retraksi sternum dan kosta, merintih (expiratory grunting), bradikardi, hipotermi, kejang – kejang, hipotoni. Dibedakan
dengan PIN yaitu gejala gangguan pernapasan dan riwayat persalinan (ibu toksemia, seksio sesar, perdarahan antepartum dan lain-lain). Lebih jelas, diagnosis Perdarahan Intrakranial ditegakkan berdasarkan :
• anamnesis: riwayat kehamilan, persalinan, prematuritas, keadaan bayi sesudah lahir dan gejala
-gejala yang men-curigakan.
• pemeriksaan fisik: adanya tanda-tanda PI, gejala-gejala nerologik, fraktur tulang kepala dan tanda-tanda peninggi-an tekanan intrakranial.
• pemeriksaan laboratorium: likuor dan darah.
• pemeriksaan penunjang: CT Scan USG dan foto kepala.

H.    Macam-Macam Perdarahan Intrakranial

1.      PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu jenis stroke, yang disebabkan oleh adanya perdarahan ke dalam jaringan otak. Perdarahan intraserebral terjadi secara tiba-tiba, dimulai dengan sakit kepala, yang diikuti oleh tanda-tanda kelainan neurologis (misalnya kelemahan, kelumpuhan, mati rasa, gangguan berbicara, gangguan penglihatan dan kebingungan). Sering terjadi mual, muntah, kejang dan penurunan kesadaran, yang bisa timbul dalam waktu beberapa menit.

Biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk membedakan stroke iskemik dengan stroke perdarahan. Pemeriksaan tersebut juga bisa menunjukkan luasnya kerusakan otak dan peningkatan tekanan di dalam otak.
Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan, kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Pembedahan bisa memperpanjang harapan hidup penderita, meskipun meninggalkan kelainan neurologis yang berat. Tujuan pembedahan adalah untuk membuang darah yang telah terkumpul di dalam otak dan untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak.

          Perdarahan intraserebral merupakan jenis stroke yang paling berbahaya. Stroke biasanya luas, terutama pada penderita tekanan darah tinggi menahun. Lebih dari separuh pendeirta yang memiliki perdarahan yang luas, meninggal dalam beberapa hari. Penderita yang selamat biasanya kembali sadar dan sebagian fungsi otaknya kembali, karena tubuh akan menyerap sisa-sisa darah.

2.      PERDARAHAN SUBARAKNOID

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Sumber dari perdarahan adalah pecahnya dinding pembuluh darah yang lemah (apakah suatu malformasi arteriovenosa ataupun suatu aneurisma) secara tiba-tiba. Kadang aterosklerosis atau infeksi menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah.
Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Perdarahan subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan gejala. Kadang aneurisma menekan saraf atau mengalami kebocoran kecil sebelum pecah, sehingga menimbulkan pertanda awal, seperti sakit kepala, nyeri wajah, penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya.
Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah. Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera dibawa ke dokter agar bisa diambil tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat. Pecahnya aneurisma biasanya menyebabkan sakit kepala mendadak yang hebat, yang seringkali diikuti oleh penurunan kesadaran sesaat. Beberapa penderita mengalami koma, tetapi sebagian besar terbangun kembali, dengan perasaan bingung dan mengantuk.
Darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak akan mengiritasi selaput otak (meningen), dan menyebabkan sakit kepala, muntah dan pusing. Denyut jantung dan laju pernafasan sering naik turun, kadang disertai dengan kejang. Dalam beberapa jam bahkan dalam beberapa menit, penderita kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25% penderita memiliki kelainan neurologis, yang biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan, yang bisa menunjukkan lokasi dari perdarahan. Jika diperlukan, bisa dilakukan pungsi lumbal untuk melihat adanya darah di dalam cairan serebrospinal. Angiografi dilakukan untuk memperkuat diagnosis dan sebagai panduan jika dilakukan pembedahan.
Sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode pertama karena luasnya kerusakan otak. 15% penderita meninggal dalam beberapa minggu setelah terjadi perdarahan berturut-turut. Penderita aneurisma yang tidak menjalani pembedahan dan bertahan hidup, setelah 6 bulan memiliki resiko sebanyak 5% untuk terjadinya perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh fungsi mental dan fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis kadang tetap ada.

Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.
Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali. 










I.     PENATALAKSANAAN
Diusahakan tindakan dibatasi untuk mencegah terjadinya kerusakan/kelainan yang lebih parah 14.





• Bayi dirawat dalam inkubator yang memudahkan observasi kontinu dan pemberian O2. Perlu diobservasi secara cermat: suhu tubuh, derajat kesadaran, besarnya dan reaksi pupil, aktivitas motorik, frekuensi pernapasan, frekuensi jantung (bradikardi/takikardi), denyut nadi dan diuresis. Diuresis kurang dari 1 ml/kgBB/jam berarti perfusi ke ginjal berkurang, diuresis lebih dari 1 ml/kgBB/jam menunjukkan fungsi ginjal baik 15

• Menjaga jalan napas tetap bebas, apalagi kalau penderita dalam koma diberikan 02. Bayi letak dalam posisi miring untuk mencegah aspirasi serta penyumbatan larings oleh lidah dan kepala agak ditinggikan untuk mengurangi tekanan vena serebral.





• Pemberian vitamin K serta transfusi darah dapat dipertim- bangkan.





• Infus untuk pemberian elektrolit dan nutrisi yang adekuat berupa larutan glukosa (5–10%) dan NaCl 0,9% 4:1 atau glukosa 5–10%dan Nabik 1,5% 4:1.





• Pemberian obat – obatan :
– valium/luminal bila ada kejang – kejang. dosis valium 0,3–0,5 mg/kgBB, tunggu 15 menit, kalau belum berhenti diulangi dosis yang sama; kalau berhenti diberikan luminal 10 mg/kgBB (neonatus 30 mg), 4 jam kemudian luminal per os 8 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari, selanjutnya 4 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sambil perhatikan keadaan umum seterusnya.
– kortikosteroid berupa deksametason 0,5–1 mg/kgBB/24 jam yang mempunyai efek baik terhadap hipoksia dan edema otak.
– antibiotika dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder, terutama bila ada manipulasi yang berlebihan.
• Fungsi lumbal untuk menurunkan tekanan intrakranial, mengeluarkan darah, mencegah terjadinya obstruksi aliran likuor dan mengurangi efek iritasi pada permukaan korteks.
• Tindakan bedah darurat: Bila perdarahan/hematoma epidural walaupun jarang dilakukan explorative burrhole dan bila positif dilanjutkan dengan kraniotomi, evakuasi hematoma dan hemostasis yang cermat 8. Pada perdarahan/hematoma subdural, tindakan explorative burrhole dilanjutkan dengan kraniotomi, pembukaan duramater, evakuasi hematoma dengan irigasi menggunakan cairan garam fisiologik. Pada perdarahan intraventrikuler karena sering terdapat obstruksi aliran likuor, dilakukan shunt antara ventrikel lateral dan atrium kanan.
J.     PROGNOSIS
Karena kemajuan obstetri, Perdarahan Intrakranial oleh trauma kelahiran sudah sangat berkurang. Mortalitas Perdarahan Intrakranial non traumatik 50–70% 7. Prognosis Perdarahan Intrakranial bergantung pada lokasi dan luasnya perdarahan, umur kehamilan, cepatnya didiagnosis dan pertolongan. Pada perdarahan epidural terjadi penekanan pada jaringan otak ke arah sisi yang berlawanan, dapat terjadi herniasi unkus dan kerusakan batang otak. Keadaan ini dapat fatal bila tidak men- dapat pertolongan segera. Pada penderita yang tidak meninggal, dapat disertai spastisitas, gangguan bicara atau strabismus. Kalau ada gangguan serebelum dapat terjadi ataksi serebeler. Perdarahan yang me- liputi batang otak padabagian formasi retikuler, memberikan sindrom hiperaktivitet. Pada perdarahan subdural akibat trauma, menurut Rabe dkk, hanya 40% dapat sembuh sempurna setelah dilakukan fungsi subdural berulang-ulang atau tindakan bedah 16. Perdarahan subdural dengan hilangnya kesadaran yang lama, nadi cepat, pernapasan tidak teratur dan demam tinggi, mempunyai prognosis jelek. Pada perdarahan intraventrikuler, mortalitas bergantung pada derajat perdarahan 17. Pada derajat 1–2 (ringan-sedang), angka kematian 10–25%, sebagian besar sembuh sempurna, sebagian kecil dengan sekuele ringan. Pada derajat 3–4 (sedang-berat), mortalitas 50–70% dan sekitar 30% sembuh dengan sekuele berat. Sekuele dapat berupa cerebral palsy, gangguan bicara, epilepsi, retardasi mental dan hidrosefalus. Hidrosefalus merupakan komplikasi paling sering (44%) dari perdarahan periventrikuler 7.( Cermin Dunia Kedokteran No. 41, 1986 45)

K.  PENCEGAHAN
Untuk mengurangi terjadinya Perdarahan Intrakranial, yang paling penting ialah pencegahan, yang meliputi pemeriksaan ibu-ibu hamil secara teratur, memberikan pertolongan dan perawatan yang sebaik- baiknya, baik waktu persalinan maupun sesudah anak lahir.
Perhatian khusus harus diberikan kepada bayi-bayi prematur (BKB) yaitu mencegah episode asfiksia sebelum dan sesudah persalinan. Dalam hal ini perlu monitoring keadaan bayi intrapartum, resusitasi segera sesudah lahir dan mencegah kemungkinan hipoksia oleh sebab-sebab lain 18. Pemberian koagulans sebagai usaha untuk mencegah timbulnya PIN sampai saat ini belum ada persesuaian paham, tetapi pemberian vitamin K secara rutin pada BKB dapat dianjurkan.









BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.     KESIMPULAN

          Telah dilaporkan tinjauan kepustakaan perdarahan intra krakranial pada neonatus yang berkaitan dengan persalinan. Menurut etiologi dapat dibedakan Perdarahan Intrakranial Neonatus yang traumatik/trauma kelahiran dan non-traumatik. Berkat kemajuan obstetri, Perdarahan Intrakranial Neonatus oleh trauma kelahiran sudah sangat berkurang. Perdarahan Intrakranial Neonatus non-traumatik yang ditemukan pada BKB merupakan masalah pediatrik, baik menyangkut diagnosis maupun penatalaksanaan dan pencegahannya.




B.     SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini semoga dapat memberikan manfaat khususnya mahasiswi DIII kebidanan dan tinjauan kasus diatas dapat memberikan gambaran tentang tanda gejala serta penanganan preeklamsi sesuai kewenangan dan kompetensi bidan.Terlebih lagi,kita sebagai bidan dimasa depan dapat melakukan pencegahan preventif melalui antenatal care yang berkualitas agar preeklamsi tidak menjadi eklamsi bahkan dapat di tanggulangi.



DAFTAR PUSTAKA


1. Roberton NRC and Howart P. Hypernatremia as a Cause of Intracranial Haemorrhage. Arch  Dis Child. 1975; 50: 938-41.
2. Saxena HMK, Mithilesh C, Santos KB and Gosh S. Intracranial Haemorrhage, A Cause of Perinatal Mortality. Indian Ped. 1978; 15: 403.
3. Banerjee CK, Narang A and Bhakov ON. Cerebral Intraventricular Haemorrhage and Autopsy. Indian Ped. 1977; 14: 115-6.
4. Volpe JJ. Neonatal Periventricular Haemorrhage: Past, Present and Future. J Paed. 1978; 92: 693
5. Leksmono PR, Hafid A dan Sajid DM. Cedera Otak dan Dasar-dasar Pengelolaannya. Cermin Dunia Kedokteran. 1984; 34: 32-
6. Schaffer and Avery. Intracranial Haemorrhage, Disease of New- born. 3rd ed. Philadelphia-London-Toronto: WB Saunders Co. 1971; pp 601-5.
7. Mc Donald MM, Johnson ML, Rumack CM, Koops BL, Guggen- heim MA and Hathaway WE. Role of Coagulopathy in Newborn Intracranial Haemorrhage. Pediatrics. 1984;74: 26-7.
8. Susworo. Peranan Radiologik Pada Kelainan Otak. Cermin Dunia Kedokteran.1984; 34: 28-9. 13. Purnomo Suryantoro, Moch Bachtiar dan Achmad Suryono. Penanganan Infeksi Pada Bayi Baru Lahir. Kumpulan Naskah Ilmiah Simposium dan Seminar Neonatologi, Jakarta 1977.
9. Nelson. Texbook of Pediatrics. 10th ed. Tokyo: Igaku Shoin Ltd. 1975.
10. Arhan Arief. Renjatan Pada Neonatus. BIKA I KUI. 1983; hal 36-40.
11. Cole VA, Durbin GM, 011afson A, Reynolds EO, Rivers RP and Smith 1F. Pathogenesis. of Intraventicular Haemorrhage in New- born Infants. Arch Dis Child. 1974;49: 722-3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar