Selasa, 02 Desember 2014

Kelompok 4 (atresia koana)


BAB 1
pendahuluan

Latar Belakang
Atresia koana merupakan suatu kelainan perkembangan kegagalan hubungan antara kavum nasi bagian posterior dengan nasofaring. Kelainan ini pertama sekali dilaporkan oleh Roederer (1775 ) dan merupakan salah satu kelainan kongenital pada hidung yang sering di jumpai, walaupun kejadian pastinya tidak di ketahui.
Kejadian atresia koana kongenital berkisar antara 1 dalam 5000 - 8000 angka kelahiran hidup, di mana dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Penutupan dapat terjadi secara parsial atau total dan bisa berupa membran atau tulang. Hampir 90% atresia koana adalah jenis tulang sedangkan 10% adalah jenis membran.
Dalam 6 minggu pertama kehidupan, bayi bernafas sangat tergantung pada hidungnya. Hal ini disebabkan karena lidah bayi yang baru lahir mengisi hampir seluruh rongga mulut dan epiglotis agak condong ke depan dekat ke palatum mole. Anatomi ini menyebabkan kebiasaan bayi untuk bernafas melalui hidung daripada mulut. Dan untuk bernafas melalui mulut, bayi memerlukan waktu untuk belajar yang biasanya sekitar 4 – 6 minggu. Pada atresia koana bilateral bayi tidak mampu merubah kebiasaan ini tanpa menangis. Oleh karena itu atresia koana bilateral pada bayi baru lahir merupakan hal yang mengancam jiwa dan memerlukan pertolongan yang cepat untuk menyelamatkan hidupnya.
Terdapat satu kasus atresia koana bilateral kongenital yang terdiri dari tulang pada bayi perempuan usia 1½ bulan dan telah dilakukan rekonstruksi koana dengan bor di sertai pemasangan stent plastik.
Atresia koana kongenital terjadi antara 1 dalam 5000 sampai 8000 kelahiran hidup, tetapi bagaimana pun sulit untuk menentukan insidens yang akurat karena banyak bayi yang dispnea dan meninggal segera setelah lahir akibat gagal bernafas melalui hidung dan tidak terdeteksi. Sebanyak 90% dari atresia koana kongenital biasanya berupa tulang dan sisanya adalah membran. Unilateral lebih sering dari bilateral dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1






1.2         Rumusan Masalah
1.    Menjelaskan definisi dari atresia koana?
2.    Menjelaskan penyebab dari atresia koana?
3. Mengetahui cara mendiagnosis?
4. Menjelaskan cara penatalaksanaannya?
5. Mengetahui tindakan bidan ?
6.    Menjelaskan WOC atresia koana?
7. Mengetahui cara pencegahannya?

1.3         Tujuan
1.    Mengetahui secara umum mengenai anatomi hidung.
2.    Mengetahui definisi, manifestasi klinis, diagnosis pada atresia koana.
3.    Melaksanakan  tugas persepsi sensori pada hidung.




















BAB II
TINJAUAN TEORI
           2.1     Definisi
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum nasi oleh membran abnormal atau tulang. Hal ini terjadi akibat kegagalan embriologik dari membran bukonasal untuk membelah sebelum kelahiran. Kelainan ini dapat terjadi bersamaan dengan kelainan congenital lainnya yaitu koloboma, kelainan jantung, retardasi mental, kelainan pertumbuhan dan Charge syndrome. Kelainan congenital lainnya adalah Crouzon syndrome, Pfeiffer syndrome dan Antley-Bixler syndrome.

          2.2         Etiologi 
Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak dugaan daripada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Yakni pada masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membrane yang terdiri atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang kemudian menjadi atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain adanya keterlibatan kromosom yang dapat menyertai kelainan kongenital lain seperti facial, nasal dan palatal deformities, polydactylism, congenital heart disease, coloboma of the iris and retina, mental retardation, malformations external ear, esophageal atresia, craniosynostosis, tracheoesophageal fistula dan meningocele.
            2.3         Patofisiologi
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum  ada teori pasti tentang kelainan ini. Teori tersebut antara lain:
- Membran buccopharyngeal yang persisten
- Kegagalan membrane buccopharyngeal dari hochstetter yang ruptur
- Bagian medial yang tumbuh keluar dari vertikal dan horizontal tulang palatine
- Abnormal mesodermal yang adhesi pada area koana
- Misdirection dari aliran mesodermal akibat faktor local







 2.4         Klasifikasi
Berdasarkan derajatnya, atresia koana dapat dibedakan menjadi:
-                    Atresia koana unilateral
-                    Atresia koana bilateral
Berdasarkan tipenya terdapat 3 tipe atresia koana yaitu:
a)                  Tipe tulang (bony)
b)                  Tipe membrane (membranous)
c)                  Campuran antara tulang dan membrane

2.5  Faktor pemicu terjadinya kelainan kongenital
  1. Kelainan Genetik dan Khromosom. Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan (“dominant traits”) atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya. Dengan adanya kemajuan dafam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainankhromosom autosomai trisomi 21 sebagai sindroma Down (mongolism) kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.



  1. Faktor mekanik  Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (clubfoot)



  1. Faktor infeksi. Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia.
  2. Faktor Obat Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.

  1. Faktor umur ibu Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 – 44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.
  2. Faktor hormonal  Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.
  3. Faktor radiasi Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.
  4. Faktor gizi Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian &elainan kongenital.
  5. Faktor-faktor lain Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.


2.5         Manifestasi Klinis
Pada atresia koana unilateral mungkin tidak ada gejala dan jarang menimbulkan gawat nafas dan biasanya di ketahui belakangan karena sekret hidung terus menerus atau hidung tersumbat pada satu sisi. Pada bayi di curigai atresia unilateral apabila sewaktu menyusu pada ibunya dengan posisi tertentu, lubang hidung yang normal tersumbat oleh payudara ibunya sehingga bayi akan terlihat sulit bernafas sampai sianosis.
Pada tipe bilateral akan segera terlihat gejala gangguan pernafasan seperti nafas yang tersendat-sendat tidak teratur, tampak biru jika bibir tertutup atau sewaktu di beri minum dan akan merah kembali jika bibir terbuka atau sedang menangis.

 Selain kesulitan bernafas juga timbul kesulitan sewaktu makan dan minum karena mulut yang biasanya digunakan untuk bernafas digunakan untuk makan atau minum. Jika bayi dapat bertahan hidup dengan bantuan jalan nafas melalui mulut, gastric feeding tube, puting Mc Govern dan sebagainya, bayi akan memperlihatkan gejala dan tanda klasik atresia koana bilateral yaitu :
1. Bernafas melalui mulut yang konstan
2. Sekret hidung bilateral yang kental
3. Gangguan penciuman dan pengecapan.
4. Kurang gizi.
5. Gangguan bicara.
Hampir 50% kasus atresia koana sering disertai dengan kelainan-kelainan kongenital lainnya, terutama pada kasus yang bilateral. Bergstorm, mengemukakan istilah CHARGE untuk kelainan yang sering berhubungan dengan atresia koana yaitu : Coloboma blindness, Heart disease (kelainan jantung), Atresia koana, Retarded growth and development (keterbelakangan mental dan perkembangan), Genital anomalies in male (hipoplasia alat kelamin laki-laki) dan Ear anomalies and deafness (gangguan pendengaran).

2.5 DIAGNOSIS
Dianognis yang ditegakan berdasarkan alo anamesis, gambaran klinis dan pemerikasan penunjang.dari alo anamesis diketahui penderita kesulitan bernafas dan terlihat tersendat-sendat tidak teratur. Bayi akan terlihat biru suatu bibir tertutup dan akan merah kembali bila mulut terbuka atau sedang menangis
Pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan:
1.      Meletakan kapas atau kaca didepan hidung,bila terdapat udara kapas akan bergerak dan kaya akan ber embun
2.      Memasukan kateter karet kedalam lubang hidung koparing dan akan terdapat kandung
3.      Pemerisaan nasoparing secara digital
4.      Pemeriksaan kaca rinoskopi posterior
5.      Meneteskan metilen blue kehidung dan dilihat keberadaanya melalui mulut





6.      Pemeriksaan radiologi
a.       Fotopolos hidung lateral dengan memakai zat kontras dalam posisi berbaring dapat menentukan kekebalan atresia dari kontras di hidung dan udara dinassopari.
b.      Ctissken dapat membedakan atresia bentuk tulang atau membran dan dapat menentukan angunlasi serta tebalnya.
                                                     
2.6         Penatalaksanaan
Prioritas utama pada bayi baru lahir adalah menjaga pernafasan melalui mulut dengan memasukkan saluran udara plastik ke dalam mulut bayi. Alternatif lain adalah merekatkan puting karet botol bayi (puting Mc Govern) yang dapat dilakukan sampai 1 tahun untuk mendapatkan lapangan operasi yang lebih luas (2 kali waktu lahir). Trakeostomi biasanya tidak dilakukan kalau Mc Govern bisa di pasang.
Atresia koana dapat di koreksi dengan tindakan bedah baik secara transnasal atau transpalatal. Transnasal lebih sederhana dan mudah dilakukan, tidak mengganggu perkembangan palatum durum, operasi sebentar, lebih sedikit perdarahan serta dapat dikerjakan pada bayi yang sangat muda usianya tetapi lebih sering menyebabkan restenosis. Banyak ahli berusaha mencegah stenosis kembali dengan pemasangan stent sampai terjadi epitelisasi sempurna (2 – 5 bulan). Dapat digunakan pipa berbentuk huruf U yang di pasang di depan kollumella dan di beri lubang di bagian depan untuk pernafasan. Sedangkan transpalatal memberikan visualisasi yang lebih baik dengan insidens restenosis yang lebih rendah. Ada beberapa cara insisi palatum pada metode ini tetapi yang paling sederhana adalah insisi midline
Pada tipe membran, atresia dapat di tembus melalui hidung dan di ikuti dengan pemasangan stent selama 6 minggu. Pada oklusi tulang perlu dilakukan perforasi dan pemecahan dinding pemisah dengan bor, pahat dan kuret serta seluruh tulang yang menutupi harus di angkat.
Pada atresia koana unilateral, tindakan bedah dilakukan setelah pasien dewasa. Metode transnasal biasanya memberikan hasil yang baik sehingga pendekatan transpalatal jarang digunakan. Pada atresia koana bilateral biasanya operasi menggunakan mikroskop atau alat endoskopi, dengan selalu berpedoman pada dasar hidung. Kesalahan kearah superior dapat mengakibatkan terkenanya intra kranial (basis sfenoid) dan dapat timbul komplikasi yang serius.


2.8 Beberapa Cara Untuk Meminimalisir Terjadinya Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, dimulai dari faktor gizi, sampai paparan zat berbahaya. Terdapat beberapa hal yang dapat dialkukan sang ibu untuk mencegah terjadinya kelainan kongenital ini.
1.     Diet yang baik selama masa reproduktif. Pastikan asupan yang cukup vitamin dan mineral seperti asam folat, iodin. Hindari asupan yang berbahaya seperti alkohol.
2.     Hindari paparan zat berbahaya seperti logam berat, dan pestisida. Jangan minum obat sembarangan selama kehamilan, konsultasikan dulu terhadap dokter sebelum mengkonsumsi obat.
3.     Tingkatkan cakupan vaksinasi, khususnya vaksinasi terhadap virus Rubella untuk anak-anak dan ibu.
4.     Kontrol rutin ke dokter untuk memantau perjalanan kandungan Anda dan juga untuk skrining antenatal seperti pemeriksaan darah dan USG. Skrining serum ibu dapat digunakan untuk mendeteksi sindrom down dan kelainan tabung saraf. USG dapat mendeteksi sindrom down selama kehamilan trimester pertama, dan berbagai kelainan fetus selama trimester kedua.


























BAB III
KASUS ATRESIA KOANA

Seorang ibu bernama S. Fatimah usia 30 tahun bekerja sebagai pedagang, membawa bayi perempuannya berinisial W, usia 1½ bulan dan beralamat di JL. Kamboja 13 Sampang, datang ke Bagian THT BRSUD Sampang tanggal 23 Mei 2000 jam 11.00. Dari allo anamnesis di jumpai adanya keluhan pasien terlihat sesak dan membiru apabila di beri minum dan memerah kembali setelah menangis. Kemudian kedua lubang hidung selalu berair sejak lahir dan pasien kelihatan selalu bernafas melalui mulut. Dari data yang diperoleh riwayat penyakit penghidu pada keluarga tidak ada.
Dilakukan operasi rekonstruksi koana pada tanggal 30 Mei 2000. Sebelum operasi kavum nasi di evaluasi dengan endoskopi, terlihat obstruksi berupa tulang yang di tutupi mukosa pada kedua koana. Secara hati-hati dengan pedoman dasar hidung daerah tersebut di bor dengan bor diamond yang di beri pelindung pipa karet sampai tembus ke nasofaring. Dengan trokar lurus, daerah tersebut dilebarkan secara hati-hati sampai diameter 5 mm dan di kontrol dengan jari di daerah nasofaring. Lalu evaluasi kembali dengan endoskopi, melalui trokar terlihat mukosa nasofaring. Kateter karet dimasukkan melalui trokar ke nasofaring terus ke mulut dan di ikat ujungnya dengan benang, dan di tarik lagi keluar hidung lalu trokar dikeluarkan. Terhadap ujung benang yang satu lagi dilakukan hal yang sama pada lubang hidung sebelahnya sehingga kedua ujung benang keluar melalui kedua lubang hidung. Kedua ujung benang dimasukkan ke dalam pipa dari slang infus yang di beri lubang-lubang kecil sepanjang ± 5 cm dan dibengkokkan seperti huruf U, lalu dikeluarkan kedua ujungnya di pertengahan slang tersebut yang di lubangi ± 1 cm. Slang dimasukkan ke dalam lubang hidung dan benang di ikat untuk fiksasi. Kontrol perdarahan (-). KU post op : baik. Sewaktu pasien sadar, bisa bernafas melalui hidung (di tes dengan kapas di depan hidung).









BAB IV
ASUHAN KEBIDANAN PADA KLIEN ATRESIA KOANA

3.1  Pengkajian :
a)    Identitas Anak
-       Nama                      :           An. W
-       Usia                                    :           1½ bulan
-       Suku                       :           Madura
-       Jenis kelamin          :           Perempuan
-       Agama                    :           Islam
-       Alamat                    :           JL. Kamboja 13 Sampang
b)   Identitas Orang Tua
-       Nama Ibu                :           S. Fatimah
-       Usia                        :           30 tahun
-       Suku                       :           Madura
-       Jenis kelamin          :           Perempuan
-       Pendidikan             :           SD
-       Pekerjaan                :           Pedagang
-       Agama                    :           Islam
-       Alamat                    :           JL. Kamboja 13 Sampang
-       Hubungan               :           Ibu
c)    Keluhan utama
-       Sesak dan membiru apabila di beri minum dan memerah kembali setelah menangis
d)   Riwayat penyakit sekarang
-       Dijumpai adanya keluhan pasien terlihat sesak dan membiru apabila di beri minum dan memerah kembali setelah menangis. Kemudian kedua lubang hidung selalu berair sejak lahir dan pasien kelihatan selalu bernafas melalui mulut.
e)    Riwayat penyakit dahulu
-       Tidak ada penyakit yang diderita secara specific.
f)    Riwayat penyakit keluarga
-       Tidak ada riwayat penyakit penghidu pada keluarga.



3.2  Pemeriksaan Fisik :
-        KU / KP / KG : sedang / kurang.
-        BB                   : 2,9 kg
-        Suhu                : 38˚C
-        RR                   : dispnea (-), sianosis (-)
-        Hidung             : Rh. Ant : kavum nasi lapang
-        Mukosa           : normal, sekret jernih (+ ), massa (-).
-        Rh. Post          : koana tidak bisa di periksa.

3.3  Pemeriksaan Penunjang
a)      Meletakkan kapas atau kaca di depan hidung. Bila terdapat udara, kapas akan bergerak dan kaca akan berembun.
b)      Memasukkan kateter karet melalui lubang hidung ke faring dan akan terdapat tahanan. Pemeriksaan nasofaring secara digital.
c)      Pemeriksaan kaca rinoskopi posterior.
d)     Meneteskan metilen blue ke hidung dan di lihat keberadaannya melalui mulut.
e)      Pemeriksaan radiologi :
-        Foto polos hidung lateral dengan memakai zat kontras dalam posisi berbaring dapat menentukan ketebalan atresia dari kontras di hidung dan udara di nasofaring.
-        CT Scan dapat membedakan atresia bentuk tulang atau membran dan dapat menentukan angulasi serta tebalnya.  
f)       Konsul Kardiologi Anak
-        Tidak ada kelainan kardiologi
g)      Konsul Bagian I. Penyakit Mata
-        Tidak di jumpai kelainan
            h)      Terapi
-        Inj. Ampisillin
-        Inj. Asam traneksamat





3.4  Analisa Data
DATA
ETIOLOGI
PROBLEM
DS: pasien terlihat sesak dan membiru apabila di beri minum dan memerah kembali setelah menangis.
DO: suhu 38˚C, RR= dispnea, kulit terlihat sianosis, BB= 2,9 kg.
Atresia koana unilateral
                      
Secret hidung satu sisi
Pada bayi menyusui
                              
Dipsnea

Sianosis
Pola nafas tidak efektif
DS: ibu klien mengatakan kedua lubang hidung An.W selalu berair sejak lahir.
DO: pasien terlihat selalu bernafas melalui mulut.
Bantuan nafas

Mulut

Bernafas konstan
Gangguan nafas
DS: ibu klien mengatakan Pendidikannya hanya smpai sekoah dasar.
DO: ibu klien terlihat bingung atau tidak paham atas informasi yang diberikan.
Keterbatasan informasi
Kurangnya pengetahuan
DS: klien merasa lemas, nafsu makan turun.
DO: kurus, BB menurun
Sulit makan & minum

Bantuan nafas mulut

Kurang gizi
Nutrisi kurang dari kebutuhan
DS: klien merasa sulit makan & minum
DO: berat badan turun & porsi makan sedikit
Bantuan jalan nafas mulut

Gangguan penciuman & pengecap
Gangguan persepsi sensori


3.5    Diagnosa Kebidanan
·           Pola nafas tidak efektif b.d adanya secret dalam hidung.
·           Gangguan nafas b.d ketidakefektifan jalan nafas.
·           Kurangnya pengetahuan b.d keterbatasan informasi.
·           Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d menurunnya nafsu makan.
·           Gangguan persepsi sensori penciuman (hidung) & pengecap
·           Gangguan konsep diri citra tubuh yang b.d perubahan persepsi

3.6  Intervensi dan Rasional
·         Pola nafas tidak efektif b.d adanya secret dalam hidung.
Tujuan :           Pola nafas menjadi efektif dalam 10 – 15 menit setelah dilakukan tindakan.
Kriteria Hasil :
-          RR normal (16 – 20 x/menit)
-          Suara napas vesikuler
-          Pola napas teratur tanpa menggunakan otot bantu pernapasan
-          Saturasi oksigen 100%

















INTERVENSI
RASIONAL
Observasi:
Observasi RR tiap 4 jam, bunyi napas, kedalaman inspirasi, dan gerakan dada
Auskultasi bagian dada anterior dan posterior

Pantau status oksigen pasien

Mandiri :
Berikan posisi fowler atau semifowler tinggi
Lakukan nebulizing
Berikan O(oksigenasi)


Kolaborasi:
Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspetoran, bronkodilator.


Edukasi:


Ajarkan batuk efektif pada pasien


Ajarkan terapi napas dalam pada pasien

Mengetahui keefektifan pola napas

Mengetahui adanya penurunan atau tidak adanya ventilasi dan adanya suara napas tambahan
Mencegah terjadinya sianosis dan keparahan

Mencegah obstruksi/aspirasi, dan meningkatkan ekspansi paru
Membantu pengenceran sekret
Mengkompensasi ketidakadekuatan Oakibat inspirasi yang kurang maksimal


Mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran untuk membantu memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan spasme bronkus dan analgetik diberikan untuk meningkatkan kenyamanan

Membantu pasien untuk mengeluarkan sekret yang menumpuk

Membantu melapangkan ekspansi paru





·           Gangguan nafas b.d ketidakefektifan jalan nafas.
Tujuan :  pola nafas menjadi efektif.
Kriteria Hasil : menunjukkan pola nafas yang efektif tanpa adanya gangguan nafas


INTERVENSI
                          RASIONAL
Respiratory monitoring:
Monitor rata-rata irama, kedalaman dan usaha untuk bernafas.
Catat gerakan dada, lihat kesimetrisan, penggunaan otot Bantu dan retraksi dinding dada.
Monitor suara nafas
Monitor kelemahan otot diafragma
Catat omset, karakteristik dan durasi batuk

Mengetahui keefektifan pernafasan

Untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernafasan

Mengetahui penyebab nafas tidak efektif


·           Kurangnya pengetahuan b.d keterbatasan informasi.
Tujuan : pasien mengerti proses penyakitnya dan program perawatan serta therapi yang diberikan
Kriteria Hasil :            
-        Mampu menjelaskan kembali tentang penyakit
-        Mengenal kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa cemas













INTERVENSI
RASIONAL
.  Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya


Jelaskan tentang proses penyakit (tanda dan gejala), identifikasi kemungkinan penyebab. Jelaskan kondisi tentangklien

Jelaskan tentang program pengobatan dan alternatif pengobatan

Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin digunakan untuk  mencegah komplikasi

Diskusikan tentang terapi dan pilihannya
Eksplorasi kemungkinan sumber yang bisa digunakan/ mendukung

Instruksikan kapan harus ke pelayanan Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit, prosedur perawatan dan pengobatan
      Mempermudah dalam memberikan penjelasan pada klien
2.   Meningkatan pengetahuan dan mengurangi cemas
3.    Mempermudah intervensi


4.      
       Mencegah keparahan penyakit


Memberi gambaran tentang pilihan terapi yang bisa digunakan
6.    

Mereview






·           Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d menurunnya nafsu makan
Tujuan :           kebutuhan nutrisi pasien bisa terpenuhi
Kriteria Hasil :            
-        Pasien mampu menghabiskan diet yang dihidangkan
-        Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
-        Nilai laboratorim, protein total 8-8 gr%, Albumin 3.5-5.4 gr%, Globulin 1.8-3.6 gr%, HB tidak kurang dari 10 gr %
-        Membran mukosa dan konjungtiva tidak pucat
INTERVENSI
RASIONAL
Eating disorder manajemen:
Tentukan kebutuhan kalori harian
Ajarkan klien dan keluarga tentang pentingnya nutrient
Monitoring TTV dan nilai 

Laboratorium:
Monitor intake dan output
Monitor intake kalori harian
Pertahankan kepatenan pemberian nutrisi parenteral
Pertimbangkan nutrisi enteral
Pantau adanya Komplikasi GI

Terapi gizi:
Monitor masukan makanan/ minuman dan hitung kalori harian secara tepat

Kaloborasi ahli gizi:
Pastikan dapat diet TKTP
Berikan perawatan mulut
Pantau hasil labioratoriun protein, albumin, globulin, HB
Jauhkan benda-benda yang tidak enak untuk dipandang seperti urinal, kotak drainase, bebat dan pispot
Sajikan makanan hangat dengan variasi yang menarik

Mengetahui kebutuhan kalori harian. Memudahkan dalam monitoring status nutrisi.



Nutrisi enteral meningkatkan fungsi sistem pencernakan.


Penanda malnutrisi



Penentuan jumlah kalori dan bahan makanan yang memenuhi standar gizi.


Mencegah penurunan nafsu makan
Penanda kekurangan nutrisi


Dapat mengurangi nafsu makan


Menambah selera makan psien

·           Gangguan persepsi sensori penciuman (hidung) & pengecap
Tujuan : mengembalikan fungsi penciuman & pengecap ke normal
Kriteria Hasil :  individu akan mendemonstrasikan penurunan gejala beban sensori berlebih yang ditandai dengan penurunan persepsi penciuman & pengecap


INTERVENSI
RASIONAL
Anjurkan klien untuk mengubah posisi secara sering, meskipun hanya mengangkat satu sisi tubuh dengan sedikit berulang

Rujuk ke perubahan proses pola berpikir yang berhubungan dengan ketidakmampuan mengevaluasi realitas untuk mengetahui intervensi tambahan
Dengan meningkatkan stimulus sensori yang bervariasi hal ini dapat membantu mencegah perubahan akibat kemunduran sensori yang lain
Dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang stimulus sensori yang akan dialami individu, kondisi distress, tekanan dan konfusi akan berkurang
Kualitas/kuantitas input sensori berkurang akibat immobilitas/pengurangan





Gangguan konsep diri citra tubuh yang b.d perubahan persepsi
Tujuan : menerima dan meningkatkan harga diri
Kriteria Hasil :            
-        Citra tubuh positif dan akurat
-        Konsep diri yang positif menunjukan bahwa individu akan sesuai dalam hidupnya
INTERVENSI
RASIONAL
Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaan khususnya mengenai pikiran, perasaan, pandangan dirinya.
Catat prilaku menarik diri. Peningkatan ketergantungan, manipulasi atau tidak terlibat pada perawatan.
Pertahankan pendekatan positif selama aktivitas perawatan.
Membantu pasien untuk menyadari perasaannya yang tidak biasa.

Dugaan masalah pada penilaian yang dapat memerlukan evaluasi tindak lanjut dan terapi yang lebih ketat.
Bantu pasien/orang terdekat untuk menerima perubahan tubuh dan merasakan baik tentang diri sendiri.

3.7    Evaluasi
Ketika merawat klien yang mengalami perubahan sensori, perawat mengevaluasi apakah tindakan perawatan meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kemampuan klien untuk berinteraksi dan berfungsi dalam lingkungan. Sifat dasar perubahan sensori klien mempengaruhi cara perawat mengevaluasi perawatan. Perawat mengadaptasikan hasil evaluasi pada klien yang defisit sensori untuk menentukan apakah hasil actual sama dengan hasil yang diharapkan. Misalnya, perawat menggunakan teknik komunikasi  yang sesuai untuk mengevaluasi apakah klien yang mengalami defisit penghidu mencapai kemampuan penciuman dengan lebih efektif.








BAB V
PENUTUP

4.1       Kesimpulan
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum nasi oleh membran abnormal atau tulang. Kelainan ini dapat terjadi bersamaan dengan kelainan congenital lainnya yaitu koloboma, kelainan jantung, retardasi mental, kelainan pertumbuhan dan Charge syndrome.
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum  ada teori pasti tentang kelainan ini.

4.2       Saran
Mahasiswa keperawatan dan seseorang yang profesinya sebagai perawat diharapkan mampu memahami dan menguasai berbagai hal tentang Atresia Koana seperti etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, dan lainnya, serta asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien yang menderita atresia koana, agar gangguan pada daerah hidung ini dapat teratasi dengan baik.

















DAFTAR PUSTAKA



 Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern.Buku saku Diagnosa keperawatan NANDA. Penerbit EGC, edisi 9
Bailey bj head and neck surgey-otolaryngology. Vol.1.philadelphia: jb lippincott company,1993.h.921
Cinnamod mj.choanal  atresia dalam: adam DA, cinnamord MJ,ED ,SCOTT-BROWN’S 1997.H.6/15/2-5.
Bluestone CD. Choanal atresia.dalam:blue CD,stool SE. SCHEETZ MD,ed.Goodwin  wj godley f. Choana atresia dalam :lee KJ,ED.TEXTBOOK OF OTOLATRYOLOGY AND and neks surgey.new york: Elsevier, 1989.h.228.

















KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya,penulis dapat menyelesaikan makalah ini.Makalah ini di susun sedemikian rupa berdasarkan metode sekunder yakni dengan telaah kepustakaan agar pembaca umumnya dan mahasiswa DIII Kebidanan khususnya dapat belajar dengan mudah,dengan metode pembelajaran bervariasi dan dapat memberikan berbagai pengalaman belajar untuk memahami konsep dan asuhan dalam kebidanan terutama pada Kelainan Kongenital Atresia Koana.Dengan begitu setelah melakukan proses pembelajaran mahasiswa diharapakn dapat mencapai tingkat kompetensi yang telah di tentukan setelah dengan standar pendidikan nasional.
 Penulis menguncapakan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dalam penyususnan makalah ini sehingga dapat terselesaikan.walaupun dalam bentuk sederhana. Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat merasa bangga jika di dukung dengan saran maupun kritikan yang sesuai dengan presepsi makalah yang kami buat.karena sekecil-kecilnya kesalahan,maka akan mengurangi nilai kesempurnan.sebagai ungkapan penutup penulis mengucapan maaf apabila terdapat kesalahan dan kesamaan pada makalah ini.



Jakarta,19 November 2014

..................                                                                                               PENULIS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar