BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunisasi
hepatitis B dilakukan
untuk mencegah terjangkitnya penyakit hepatitis B. Hal ini dikarenakan penyakit
hepatitis B merupakan salah satu penyakit yang mudah menular. Dengan imunisasi
diharapkan, virus hepatitis B tidak mudah masuk ke dalam tubuh.Penyakit
hepatitis B adalah jenis penyakit liver berbahaya dan dapat berakibat fatal.
Virus Hepatitis B (HBV) ditularkan melalui hubungan seksual, darah (injeksi
intravena, transfusi), peralatan medis yang tidak steril atau dari ibu ke anak
pada saat melahirkan.
Pada 90% kasus
HBV menghilang secara alami, tetapi pada 10% kasus lainnya virus hepatitis B
tersebut tetap bertahan dan mengembangkan penyakit kronis, yang kemudian bisa
menyebabkan sirosis atau kanker hati. Banyak bayi dan anak-anak yang terkena
hepatitis B tidak betul-betul sembuh, sehingga mendapatkan masalah liver di
usia dewasa. Anda perlu berhati-hati dengan virus HBV karena dapat ditularkan
oleh orang yang sehat (yang tidak mengembangkan penyakit hepatitis B) tetapi
membawa virus ini.
Penyakit
hepatitis B seringkali tidak menimbulkan gejala. Bila ada gejala, keluhan yang
khas dirasakan adalah nyeri dan gatal di persendian, mual, kehilangan nafsu
makan, nyeri perut, dan ikterik. Hepatitis B dapat ditangkal dengan cara
imunisasi. Anak-anak biasanya mendapatkan imunisasi ini sebagai bagian dari
program imunisasi anak.
Imunisasi
hepatitis B merupakan salah satu imunisasi yang diwajibkan, lebih dari 100
negara memasukkan vaksinasi ini dalam program nasionalnya. Jika menyerang anak,
penyakit yang disebabkan virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah
terinfeksi virus hepatitis B (VHB) dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang
dibawanya terus hingga dewasa. Sehingga sangat mungkin terjadi sirosis atau
pengerutan hati.
Pentingnya
imunisasi Hepatitis B perlu Anda ketahui sebab penyakit hepatitis B merupakan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dan bisa merusak hati. Jika
dibiarkan, penyakit ini akan semakin berat dan bisa menjadi kanker hati. Untuk
penyakit hati, virus penyebab Hepatitis B adalah yang paling berbahaya.
Biasanya bayi
yang baru lahir akan diberikan imunisasi Hepatitis B. Ini sangat penting untuk
mencegah bayi tertular penyakit tersebut. Manfaat Imunisasi Hepatitis B akan
meningkat jika diberikan sejak dini, biasanya pada usia bayi 0 sampai 7
hari.
Jika bayi
terjangkit virus ini biasanya hanya menunjukkan gejala ringan, dan bahkan ada
yang tidak menunjukkan gejala sama sekali. Akan tetapi biasanya bayi akan terus
menyimpan virus tersebut di dalam darah selama bertahun-tahun dan bisa
menularkannya pada orang lain. Virus hepatitis B memang biasanya ditemukan pada
cairan tubuh orang yang sudah terjangkit, seperti darah, ludah, dan air mani.
Ibu yang memiliki Hepatitis B, beresiko tinggi menularkannya pada bayi-bayi
mereka.
Untuk itulah
sangat penting melakukan imunisasi Hepatitis B sesegera mungkin untuk
memastikan imunisasi tersebut bekerja seefektif mungkin. Dengan imunisasi ini
bayi Anda akan terlindungi dari penyakit Hepatitis B pada masa pertumbuhannya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Hepatitis B?
2. Siapakah
yang beresiko tertular hepatitis B dan yang harus diberi imunisasi Hepatitis B?
3. Faktor apa saja yang berhubungan dengan pemberian
imunisasi Hepatitis B?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui apa itu Hepatitis B
2. Untuk
mengetahui siapakah yang beresiko tertular hepatitis B dan yang harus diberi
imunisasi Hepatitis B.
3. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan pemberian imunisasi Hepatitis B.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Imunisasi
adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan (Depkes, 2005).
Menurut Wening S, dkk (2008), Hepatitis B merupakan
tipe hepatitis yang berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan
hepatitis jenis lainnya. Hepatitis B menular kontak darah atau cairan tubuh
yang mengandung virus hepatitis B (VHB).
Menurut Ling dan Lam (2007) Hepatitis B adalah
infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB).
Penyakit ini bisa menjadi kronis atau akut dan dapat pula menyebabkan radang
hati, gagal hati, sirosis hati, kanker hati, dan kematian.
Vaksin adalah suatu produk biologik yang terbuat
dari kuman (bakteri maupun virus), komponen kuman atau racun kuman yang telah
dilemahkan atau dimatikan, atau tiruan kuman dan berguna untuk untuk merangsang
pembentukan kekebalan tubuh seseorang (Achmadi, 2006). Tindakan yang dengan sengaja
memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen disebut dengan
vaksinasi (Ranuh, 2005).
1.
Etiologi Hepatitis B
Menurut National Institutes of
Health (2006) etiologi Hepatitis B adalah virus dan disebut dengan
Hepatitis B Virus. Misnadiarly (2007) menguraikan VHB terbungkus serta
mengandung genoma DNA melingkar. Virus ini merusak fungsi lever dan sambil
merusak terus berkembang biak dalam sel-sel hati (hepatocytes) Akibat
serangan itu sistem kekebalan tubuh kemudian memberi reaksi dan melawan. Kalau
tubuh berhasil melawan maka virus akan terbasmi habis, tetapi jika gagal virus
akan tetap tinggal dan menyebabkan Hepatitis B kronis dimana pasien sendiri
menjadi karier atau pembawa virus seumur hidupnya (Misnadiarly, 2007).
2.
Efektivitas dan Lama
Proteksi Vaksin Hepatitis B
Vaksin yang akan digunakan harus
betul-betul efektif dan harus ditinjau secara terus menerus. Suatu persyaratan
sehingga vaksin dapat dinyatakan efektif bila dapat merangsang timbulnya
imunitas yang tepat, stabil dalam penyimpanan, dan mempunyai imunitas yang
cukup. Efektivitas vaksin untuk mencegah infeksi VHB adalah lebih dari 95%,
dimana memori sistem imun menetap minimal sampai dengan 12 tahun pasca
imunisasi (Wahab, 2002).
3.
Sasaran Pemberian
Imunisasi Hepatitis B
Menurut Ranuh (2005), sasaran
pemberian vaksin Hepatitis B adalah semua bayi baru lahir tanpa memandang
status VHB ibu, individu yang karena pekerjaannya beresiko tertular VHB,
karyawan di lembaga perawatan cacat mental, pasien hemodialisis, pasien koagulopati
yang membutuhkan transfusi berulang, individu yang serumah pengidap VHB atau
kontak akibat hubungan seksual, Drug users, Homosexual, dan heterosexuals
4.
Vaksin Pilihan untuk
Memproteksi Infeksi Virus Hepatitis B
Dalam pelaksanaan pemberian
imunisasi hapatitis B, pemilihan vaksin Hepatitis B saat ini memiliki 2 pilihan
yaitu vaksin Hepatitis B dan DPT/HB Kombo. Vaksin VHB merupakan vaksin virus
recombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non-infectious, yang berasal
dari HbsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansanule polymorpha)
menggunakan teknologi DNA rekombinan. Vaksin ini berindikasi untuk pemberian
kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(Depkes, 2005).
Vaksin DPT/HB Kombo merupakan
vaksin DPT dan Hepatitis B yang dikombinasikan dalam suatu preparat tunggal dan
merupakan sub unit virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non
infectious. Sehingga dengan adanya vaksin ini pemberian imunisasi menjadi
lebih sederhana, dan menghasilkan tingkat cakupan yang setara antara HB dan DPT
(Depkes, 2004).
5.
Jadwal Pemberian
Imunisasi Hepatitis B
Jadwal pemberian imunisasi
Hepatitis B pada dasarnya sangat fleksibel sehingga tersedia beberapa pilihan
untuk menyatukan dalam program imunisasi terpadu. Imunisasi Hepatitis B
diberikan minimal 3 kali dan pertama diberikan segera setelah lahir. Jadwal
yang dianjurkan adalah usia 0, 1, dan 6 bulan karena respons antibodi pada usia
itu sangat optimal (Ranuh, 2005).
6.
Transmisi Hepatitis B
VHB menular melalui kontak dengan
cairan tubuh. Manusia merupakan satu - satunya host (pejamu) dari virus
ini. Darah dan cairan tubuh yang lain merupakan faktor penting untuk media
penularan. Trasmisi atau perjalanan alamiah VHB hingga terinfeksi pada manusia
terjadi melalui 4 cara penularan yaitu perinatal, horizontal, kontak seksual,
dan parenteral (WHO, 2002).
Transmisi perinatal merupakan
transmisi virus Hepatitis B dari ibu ke bayi selama periode perinatal.
Transmisi ini paling penting dalam prevalensi daerah endemis tinggi khususnya
di Cina dan Asia Tenggara (Yamada, 2003).
Transmisi horizontal yaitu
transmisi dari orang ke orang, yang dikenal terjadi pada daerah yang endemik
tinggi yakni di Afrika Sub-Sahara. Transmisi ini terjadi pada anak-anak yang
berusia 4-6 tahun yang menyebar melalui kontak fisik yang dekat atau dalam
keluarga (Yamada, 2003).
Transmisi kontak seksual merupakan
sumber penularan utama di dunia khususnya pada daerah-daerah endemis rendah
seperti Amerika. Perilaku homoseksual dalam jangka 5 tahun akan beresiko tinggi
untuk terinfeksi Hepatitis.
7.
Prevalensi Infeksi
Virus Hepatitis B
Yatim (2007) menguraikan prevalensi
infeksi virus Hepatitis B kedalam 3 tingkatan, yaitu negara dengan prevalensi
VHB Tinggi (HbsAg lebih dari 8%), negara dengan prevalensi VHB sedang (HbsAg 2
– 7%), dan negara dengan prevalensi VHB rendah (Hbs Ag <2%).
Menurut Andre (2004), negara-negara
yang termasuk ke dalam prevalensi VHB tinggi adalah: Afrika sub-Sahara,
penduduk asli Mediterania Timur, Asia Tenggara ( walaupun Singapura, Taiwan dan
Malaysia dengan cepat menjadi daerah prevalensi kategori rendah/sedang sebagai
hasil vaksinasi), Amerika Selatan, Islands Pasific (tidak termasuk Jepang), dan
masyarakat Inuit Canada. Jumlah persentase populasi VHB yang tergolong
prevalensi tinggi mencapai 45% penduduk, dimana 8% dari populasi itu dengan
Hepatitis B Surface Antigen (HbsAg) positif.
Resiko infeksi VHB seumur hidup
mencapai lebih dari 60%. Untuk negara-negara prevalensi sedang seperti: Eropa
Timur, Jepang, Asia Barat-Daya, Israel, Amerika Selatan Amazon. Prevalensi
sedang ini diperkirakan sekitar 43%, dimana 2-7% dari populasi itu dengan
Hepatitis B surface Antigen (HbsAg) positif, sedangkan resiko yang mengalami
infeksi seumur hidup sebesar 20 – 60% pada semua kelompok umur. Untuk
prevalensi rendah hanya sebesar 12% dari populasi dunia yang berada pada daerah
prevalensi rendah VHB dan kurang dari 2% dari populasi itu dengan HBsAg
positif. Negara-negara yang ke dalam prevalensi rendah tersebut seperti Amerika
Utara, Canada, Mexico, Eropa Barat, Australia, dan New Zealand (Populasi
Maori), dan yang mengalami resiko infeksi seumur hidup hanya kurang dari 20%.
Kebanyakan infeksi VHB dalam daerah ini terjadi pada orang dewasa mencakup para
pemakai obat jarum suntik, kaum homoseks, dan keluarga yang kontak dengan
pembawa karier VHB.
8.
Kelompok Resiko Tinggi
Tertular Hepatitis B
Misnadiarly (2007) dalam bukunya
menyebutkan kelompok resiko tinggi mudah tertularnya virus hapatitis B,
meliputi:
1) Anak
kecil ditempat perawatan anak yang tinggal di lingkungan epidemis.
2) Seseorang
yang tinggal serumah atau berhubungan seksual dengan penderita resiko tertular
penyakit hepatits B.
3) Pekerja
kesehatan.
4) Pasien
cuci darah.
5) Pengguna
narkoba dengan jarum suntik.
6) Mereka
yang menggunakan peralatan kesehatan bersama seperti pasien dokter gigi dan
lain-lain.
7) Orang
yang ikut akupunktur atau tato yang menggunakan jarum tidak steril.
8) Mereka
yang tinggal atau sering bepergian ke daerah endemis Hepatitis B.
9) Mereka
yang berganti pasangan, oleh karena ketidaktahuan kondisi kesehatan pasangan.
10) Kaum
homoseksual.
9.
Masa Inkubasi Hepatitis
B
Masa inkubasi VHB ini biasanya 45 –
180 hari dengan batasan 60 – 90 hari, dimana setelah 2 minggu infeksi virus
Hepatitis B terjangkit, HBsAg dalam darah penderita sudah mulai dapat dideteksi.
Perubahan dalam tubuh penderita akibat infeksi virus Hepatitis B terus
berkembang. Dari infeksi akut berubah menjadi kronis, sesuai dengan umur
penderita. Makin tua umur, makin besar kemungkinan menjadi kronis kemudian
berlanjut menjadi pengkerutan jaringan hati yang disebut dengan sirosis. Bila
umur masih berlanjut keadaan itu akan berubah menjadi karsinoma hepatoseluler
(Yatim, 2007).
10.
Manifestasi Klinik
Hepatitis B
Infeksi Hepatitis B yang akut akan
terjadi dalam waktu 30 sampai 180 hari setelah virus memasuki tubuh. Pengaruh
infeksi Hepatitis B banyak kasus yang tidak menunjukkan gejala klinis yang
khas. Namun, pada sebagian orang akan menunjukkan gejala klinis yang klasik
seperti dimulai dengan gejala prodromal atau gejala pertama yang dirasakan oleh
pasien adalah demam tidak terlalu tinggi, rasa tidak selera makan, mual, dan
kadang-kadang muntah. Gejala lain juga akan terjadi rasa lemas, sakit kepala,
rasa takut cahaya, sakit menelan, batuk, dan pilek.
Gejala Hepatitis B sangat mirip
dengan flu, dimana 1 sampai 2 minggu kemudian barulah timbul kuning pada
seluruh badan penderita. Saat ini biasanya penderita sudah pergi berobat karena
merasa ada kelainan pada tubuhnya yang berwarna kuning. Warna kuning ini
diikuti oleh perubahan fungsi hati (biasanya meningkat) pada pemeriksaan
laboratorium. Fungsi hati biasanya digambarkan oleh kenaikan SGOT dan SGPT.
Satu sampai lima hari sebelum badan kuning, keluhan kencing seperti teh pekat
dan warna buang air besar yang pucat seperti diliputi lemak juga dirasakan oleh
penderita.
Pada saat badan kuning, biasanya
diikuti pula dengan oleh pembesaran hati dan diikuti oleh rasa sakit bila
ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul fase
resolusi yang biasanya berada dalam rentang waktu 2 – 12 minggu. Pada fase ini,
badan kuning dan ukuran hati berangsur kembali normal. Demikian juga dengan
kenaikan fungsi hati dari hasil pemeriksaan laboratorium akan berangsur-angsur
mencapai normal kembali.
Hepatitis B akut tidak ada
komplikasi, akan mengalami resolusi lengkap berkisar 3 sampai dengan 4 bulan.
Bila fungsi hati ini tidak mencapai normal dalam waktu 6 bulan atau lebih, maka
inilah yang dikatakan dengan Hepatitis B kronis (Zain, 2006).
11.
Pencegahan Hepatitis B
Menurut Ranuh (2005), secara garis
besar upaya pencegahannya terdiri dari pencegahan umum dan pencegahan secara
khusus. Secara umum, selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum
mencakup sterilisasi instrumen kesehatan, alat dialisis individual, membuang
jarum disposible ke tempat khusus, dan pemakaian sarung tangan oleh
tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan perihal seks yang aman, penggunaan
jarum suntik disposible, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat
gigi, sisir), munutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil (trismister
ke-1 dan ke-3, terutama ibu resiko tinggi) dan skrining populasi resiko tinggi
(lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual,
pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien yang
terinfeksi dengan VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).
Pencegahan secara khusus meliputi
imunisasi VHB secara pasif dan aktif. Imunisasi pasif adalah dengan memberikan
Hepatitis B immune globulins (HBIg) dalam waktu singkat segera
memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3 – 6 bulan). HBIg hanya
diberikan pada kondisi pasca paparan (needle stick injury, kontak seksual, bayi
dari ibu VHB, terciprat darah ke mukosa atau mata). Sebaiknya HBIg diberikan
bersama vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama. Imunisasi aktif
adalah dengan melaksanakan program imunisasi universal bagi bayi baru lahir
yakni dengan memberikan vaksin VHB rekombinan yang tersedia. Vaksin ini terdiri
dari tiga seri dan bila diberikan sesuai anjuran akan menyebabkan terbentuknya
respons protektif yang akhirnya akan berhasil menurunkan prevalensi infeksi
VHB.
12.
Masalah dalam
Pengembangan Program Imunisasi
Dalam Pedoman Pekan Imunisasi
Nasional (2005) menguraikan bahwa masalah pengambangan Program Imunisasi
Nasional saat ini adalah belum meratanya angka cakupan imunisasi sampai 80%,
termasuk imunisasi Hepatitis B pada semua bayi di 100% desa/kelurahan yang ada
di Indonesia. Fenomena seperti ini memerlukan kajian untuk menemukan strategi
yang tepat sebagai upaya pemecahan masalah.
B.
Konsep Perilaku
Kesehatan
Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala
macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan (Sarwono, 2004).
Perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi
hubungan dengan lingkungannya. Semua makhluk hidup mempunyai perilaku, maka
yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia
seperti berbicara, menangis, tertawa, bekerja dan lain sebagainya ( Machfoedz
dan Suryani, 2006).
Perilaku kesehatan adalah segala bentuk pengalaman
dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut
pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan
dengan kesehatan (Sarwono, 2004).
1.
Klasifikasi Perilaku
Kesehatan
Notoatmodjo (2003), menjelaskan
bahwa perilaku kesehatan itu merupakan respons seseorang (organisme) terhadap
rangsangan stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Perilaku kesehatan
dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, sebagai berikut:
a. Perilaku
Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance)
Perilaku atau upaya individu untuk
memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan
bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek yang
meliputi:
1) Perilaku
pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit serta pemulihan
kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
2) Perilaku
peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Kesehatan itu
sangat dinamis dan relatif, dimana orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya
mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
3) Perilaku
gizi (makanan) dan minuman, Makanan dan minuman dapat memelihara kesehatan
seseorang, tetapi sebaliknya makanan akan dapat menjadi penyebab menurunnya
kesehatan seseorang. Hal ini tergantung pada perilaku orang terhadap makanan
dan minuman tersebut.
b. Perilaku
pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau sering disebut
perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour).
Perilaku ini adalah menyangkut
upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan
dalam mencari pengobatan.
c. Perilaku
Kesehatan Lingkungan
Bagaimana seseorang merespons
lingkungan baik lingkungan fisik, sosial budaya dan sebagainya, sehingga
lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya, keluarga dan masyarakat.
Dengan perkataan lain bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga
tidak menggangu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya.
2.
Domain Perilaku
Perilaku merupakan bentuk respons
atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang),
namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau
faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun
stimulusnya sama beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda.
Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut
determinan perilaku (Notoatmodjo, 2007).
Faktor determinan perilaku itu
ditentukan atau dipengaruhi oleh perilaku (individu, keluarga, kelompok atau
masyarakat) itu sendiri. Untuk membedakan determinan perilaku, Notoatmodjo
(2007) membaginya menjadi 2 bagian yaitu:
a. Determinan
atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang
bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin dan sebagainya.
b. Determinan
atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik
dan lain sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan
yang mewarnai perilaku seseorang.
Berdasarkan pembagian domain Bloom
dan untuk kepentingan pendidikan praktis, Notoatmodjo (2005) mengembangkan
domain, ranah atau kawasan perilaku itu menjadi 3 tingkat yang terdiri dari:
(1) pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge),
(2) sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang
diberikan ( attitude), (3) praktek atau tindakan yang dilakukan oleh
peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).
Terbentuknya suatu perilaku baru,
terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu
terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya,
sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya
menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang
diketahui. Akhirnya rangsangan itu, yakni objek yang telah diketahui dan disadari
sepenuhnya akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action)
terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi.
3.
Perubahan Perilaku
Menurut Teori Lawrence Green (1980)
perilaku manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu
faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku
(non-behavior causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga
faktor yaitu :
a. Faktor
– faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai-nilai.
b. Faktor
- faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan. Misalnya puskesmas, obat – obatan, alat – alat kontrasepsi, jamban
dan sebagainya.
c. Faktor-faktor
pendorong (reinforching factor), yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan
ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari
orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas,
sikap dan perilaku para petugas kesehatan juga mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku.
Seseorang yang tidak mau
mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat disebabkan karena orang tersebut
tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya (predisposing
factors). Atau barangkali juga karena rumahnya jauh dari posyandu atau
puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (enabling factors). Sebab
lain, mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain
disekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors)
Notoatmodjo (2007).
Bentuk perubahan perilaku sangat
bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam
pemahamannya terhadap perilaku. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2007), perubahan
perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga:
a. Perubahan
Alamiah (Natural Change)
Perilaku manusia selalu berubah.
Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam
masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya
dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami
perubahan.
b. Perubahan
Terencana (Planned Change)
Perubahan ini terjadi karena
direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya, Pak Anwar adalah perokok berat.
Karena pada suatu saat ia terserang batuk sangat mengganggu, maka ia memutuskan
untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit, dan akhirnya ia berhenti merokok
sama sekali.
c. Kesediaan
untuk Berubah (Readiness to Change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau
program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi
adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan
tersebut (berubah perilakunya), dan sebagian orang lagi sangat lambat untuk
menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang
mempunyai kesediaan untuk berubah (readiness to change) yang
berbeda-beda. Setiap orang di dalam masyarakat mempunyai kesediaan untuk
berubah yang berbeda-beda meskipun kondisinya sama.
C.
Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B
1.
Faktor Predisposisi (Predisposing
Factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap kesehatan. Tradisi kepercayaan masyarakat terhadap
hal – hal yang berkaitan dengan kesehatan:
a)
Pengetahuan
Menurut Rahman (2003), pengetahuan
adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke
dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya.
Notoatmodjo (2003) berpendapaat
bahwa, Pengetahuan adalah merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga.
b)
Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap
merupakan kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2007).
Newcomb dalam Notoatmodjo (2007),
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak,
dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek. Sikap mempunyai berbagai tingkatan yakni:
1. Menerima
(receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek
mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek). Misalnya sikap orang
terhadaap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap
ceramah-ceramah tentang gizi.
2. Merespon
(responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya,
menger akan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap. Apabila ada suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau menger akan tugas
yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti
bahwa orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai
(valuting)
Mengajak orang lain untuk merger
akan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan
sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau mendiskusikan
tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut mempunyai sikap positif
terhadap gizi anak.
4. Bertanggung
jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling
tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung, dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pemyataan responden
terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan
hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden.
Sebagaimana, dikemukakan
Notoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat Walgito, menyatakan ciri-ciri sikap
yaitu :
1. Sikap
bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan
seseorang dalam hubungan dengan obyeknya.
2. Sikap
dapat berubah-ubah karena sikap itu dapat dipelajari dan karena itu pula sikap
dapat berubah-ubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan
syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada seseorang tersebut.
c)
Kepercayaan atau
Keyakinan
Fishbein dan Azien (1975),
menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata "belief',
yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek
kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi
terhadap sesuatu objek.
Keyakinan atau kepercayaan
merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, keahlian
dan kekuatan yang menciptakan kehidupan. Aspek keyakinan atau kepercayaan dalam
kehidupan manusia mengarahkan budaya hidup. perilaku normal, kebiasaan,
nilai-nilai dan penggunaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan
menghasilkan pola hidup yang disebut kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan
mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku.
Keyakinan dan praktek spiritual
individu dihubungkan dengan semua aspek kehidupan individu termasuk kesehatan
dan penyakit (Potter & Perry dalam Kadir, 2004). Ketika tubuh sakit dan
emosi berada di luar kontrol, spiritualitas dan keyakinan seseorang mungkin
menjadi satumsatunya dukungan yang tersedia.
Hopson (2002) menyebutkan bahwa
"seseorang yang memiliki kepercayaan pada diri merupakan tahap awal dari
pengidentifikasian pola pikir pada pembentukan persepsi, yang sesuai digunakan
untuk beberapa kejadian dalam kehidupan". "Bagaimanapun juga,
kepercayaan pada diri tidak selalu menjadi karakteristik dari suasana hati
seseorang setelah mengalami kejadian positif seperti melakukan suatu terapi
langsung bisa saja sembuh secara spontan". "Dengan kejadian yang
sifatnya negatif tahap pengurangan mungkin tidak tampak nyata dan individu
dapat berpindah dari tahap kesedihan ke tahap tanpa menyadari adanya
perubahan".
Faktor-faktor sosial menurut Gibson
(1996) berupa."Pola-Pola perilaku dari suatu kelompok suku, komunitas, dan
suatu komunitas yang lebih besar. Pola-pola perilaku ini meliputi:
peraturan-peraturan, kepercayaan religi, dan standar-standar moral dan
etika".
Maslow yang dikutip dalam
(Artkinson, 2004) bahwa "hasrat sosial dan status sosial menuntut
interaksi dengan orang-orang lain agar dipuaskan, dan hasrat-hasrat ini segaris
dengan kebutuhan sosial Maslow dan komponen ekstemal dari klasifikasi
penghargaan yang diberikan lingkungan kepadanya".
2.
Faktor Pemungkin (Enabling
Factor)
Faktor pemungkin atau pendukung
(enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung
atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.
a)
Pelayanan Kesehatan
Menurut Depkes RI (2009) adalah
setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok
dan masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa
bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya. Karena
kesemuanya ini ditentukan oleh:
·
Pengorganisasian
pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam
suatu organisasi.
·
Ruang lingkup kegiatan,
apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya.
Menurut Devi (2011) Kondisi
pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan
kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan
posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu
dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan
kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan
kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.
b)
Ketersediaan Fasilitas
dan Sarana
Menurut Endang (1999) terdapat
hubungan yang bermakna antara penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana dengan
pemberian imunisasi. Hal ini sejalan dengan Anderson dalam ridwan (1994) yang
menyatakan bahwa makin banyak sarana kesehatan dan tenaga kesehatan disuatu
daerah makin kecil jarak – jarak jangkauan masyarakat terhadap suatu pelayanan
kesehatan makin sedikit pula ongkos dan waktu yang diperlukan sehingga
pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat meningkat.
1)
Transportasi
Secara umum definisi transportasi
adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan
menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia atau mesin (Nasution,
2004).
Transportasi dapat dikatakan
sebagai sebuah kebutuhan turunan karena transportasi timbul disebabkan adanya
maksud atau tujuan yang ingin dicapai melalui transportasi. Misalnya pengiriman
barang, berpergian, bekerja dan lain-lain. Konsep transportasi didasarkan pada
adanya perjalanan antara asal dan tujuan. Perjalanan dilakukan melalui suatu
lintasan tertentu yang menghubungkan asal dan tujuan, menggunakan alat angkut
atau kedaraan dengan kecepatan tertentu.
2)
Jarak
Jarak merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keinginan responden untuk pergi ke pelayanan kesehatan.
Semakin jauh pelayanan kesehatan semakin enggan responden pergi ke pelayanan
kesehatan (Purwanto,2002)
Menurut Azwar,Azrul (1999) salah
satu faktor yang menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah
ciri manusia atau karakteristik. Yang termasuk dalam unsur karakteristik
manusia antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status
sosial ekonomi,ras/etnik,dan agama. Sedangkan dari segi tempat disebutkan
penyebaran masalah kesehatan dipengaruhi oleh keadaan geografis, keadaan
penduduk dan keadaan pelayanan kesehatan.Selanjutnya penyebaran masalah
kesehatan menurut waktu dipenaguruhi oleh kecepatan perjalanan penyakit dan
lama terjangkitnya suatu penyakit. Begitu juga halnya dalam masalah status
imunisasi dasar bayi juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan faktor tempat,
dalam hal ini adalah jarak rumah dengan puskesmas/tempat pelayanan kesehatan.
3)
Biaya
Menurut Supriyono (2000), biaya
adalah pengorbanan ekonomis yang dibuat untuk memperoleh barang atau jasa.
Menurut Noor,N.N (2000) menyebutkan
berbagai variabel sangat erat hubungannya dengan status sosio ekonomi sehingga
merupakan karakteristik. Status sosial ekonomi erat hubungannya dengan
pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang
primer maupun yang sekunder (Ali, 2002).
3.
Faktor Penguat (Reinforcing
Factor )
Faktor ini meliputi faktor sikap
dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan dan perilaku tokoh
masyarakat (toma) yang berkaitan dengan kesehatan.
a)
Peran Petugas Kesehatan
Peran adalah seperangkat tingkah
laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya
dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam
maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran juga sebagai bentuk dari perilaku
yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu (Mubarak W., 2009).
b)
Dukungan Tokoh
Mayarakat
Pembuatan peraturan tentang
berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan
kesadaran pada masyarakat. Sebab, apabila upaya dengan menjatuhkan sanksi hanya
bersifat jangka pendek. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role model harus diajak
turut serta dalam menyukseskan program-program kesehatan. Rendahnya tingkat
pengetahuan ibu tentang imunisasi menjadikan ibu kurang mengetahui gejala
penyakiti ini.
D.
Landasan Teori
Terkait dengan teori Precede Model dari L. Green
(1990) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo menyatakan bahwa perilaku
ditunjukkan oleh seseorang (termasuk menentukan pilihan) adalah hasil proses
dari faktor-faktor fungsional yang ditulis seperti perumusan teori tersebut di
bagian berikut ini:
Dikutip
Prof. Soekidjo Notoatmojo (2010)
Gambar
di atas dapat dirumuskan dalam bentuk rumus matematik sebagai berikut :
Menurut Teori Lawrence Green (1980) perilaku manusia
dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior
causes) dan faktor diluar perilaku (non-behavior causes). Perilaku itu
sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor yaitu :
1. Faktor-faktor
predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai-nilai
2. Faktor
- faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan. Misalnya puskesmas, obat–obatan, alat – alat kontrasepsi, jamban dan
sebagainya
3. Faktor-faktor
pendorong (reinforching factor), yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2003).
E.
Kerangka Konsep
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Imunisasi adalah suatu cara untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau sakit ringan. Hepatitis B merupakan tipe hepatitis yang berbahaya.
Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan hepatitis jenis lainnya.
Hepatitis B menular kontak darah atau cairan tubuh yang mengandung virus
hepatitis B (VHB).
Kelompok resiko
tinggi tertular hepatitis b meliputi: anak kecil
ditempat perawatan anak yang tinggal di lingkungan epidemis, seseorang yang
tinggal serumah atau berhubungan seksual dengan penderita resiko tertular
penyakit hepatits b, pekerja kesehatan, pasien cuci darah. pengguna narkoba
dengan jarum suntik, mereka yang menggunakan peralatan kesehatan bersama
seperti pasien dokter gigi dan lain-lain, orang yang ikut akupunktur atau tato
yang menggunakan jarum tidak steril, mereka yang tinggal atau sering bepergian
ke daerah endemis hepatitis b, mereka yang berganti pasangan, oleh karena
ketidaktahuan kondisi kesehatan pasangan, dan kaum homoseksual.
Sasaran pemberian vaksin Hepatitis
B adalah semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu, individu yang
karena pekerjaannya beresiko tertular VHB, karyawan di lembaga perawatan cacat
mental, pasien hemodialisis, pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi
berulang, individu yang serumah pengidap VHB atau kontak akibat hubungan
seksual, Drug users, Homosexual, dan heterosexuals
Tidak ada komentar:
Posting Komentar