BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kriptorkismus
adalah suatu keadaan di mana setelah usia satu tahun satu atau kedua testis
tidak berada di dalam kantong skrotum, tetapi berada di salah satu tempat
sepanjang jalur desensus yang normal.
Kriptorkismus
berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis yang
dalam bahasa latin disebut testis8. Nama lain dari kriptorkismus adalah
undescended testis, tetapi mesti dijelaskan lagi apakah yang dimaksud sebagai
kriptorkismus murni, testis ektopik, ataupun pseudo kriptorkismus. Testis yang berlokasi di luar jalur
desensus yang normal disebut sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang
terletak tidak di dalam skrotum tetapi dapat didorong masuk ke dalam skrotum
dan menaik lagi bila dilepaskan dinamakan pseudokriptorkismus atau testis retraktil.
Testis
yang terletak tidak di dalam skrotum akan mengganggu spermatogenesis,
meningkatkan kemungkinan terjadinya torsi dan keganasan. Alasan utama kenapa testis harus diturunkan adalah agar testis ini dan
testis kontra lateral yang normal tidak mengalami kerusakan pada tubulus
seminiferus sehingga infertilitas dapat dicegah.
Insidens
undescended testis pada bayi baru lahir adalah pada usia satu bulan dan pada
usia 3 bulan serta pada anak usia satu tahun. Pada bayi cukup bulan, di
antaranya menderita kriptorkismus dan pada bayi kurang bulan insidensnya lebih
tinggi. Pada bayi berat lahir rendah insidennya juga tinggi.
Kriptorkismus
unilateral insidensnya lebih banyak daripada yang bilateral dan lokasinya
sebagian besar di kiri (52,1% kiri dan 47,9% kanan).
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi, Etiologi dan Patogenesis kriptorkismus
?
2.
Bagaimana
Diagnosis dan Komplikasi dari kriptorkismus ?
3.
Bagaimana
Dasar Pertimbangan Terapi Hormonal serta Evaluasi Pengobatan dari kriptorkismus
?
4.
Apa
saja Efek Samping dan Terapi Bedah kriptorkismus ?
C. Tujuan Makalah
1. Agar mahasiswa mengerti Definisi, Etiologi
dan Patogenesis kriptorkismus.
2.
Agar
mahasiswa mengetahui Diagnosis dan Komplikasi dari kriptorkismus.
3.
Agar
mahasiswa mengetahui tetang Dasar Pertimbangan Terapi Hormonal serta Evaluasi
Pengobatan dari kriptorkismus.
4.
Agar
mahasiswa tahu Efek Samping dan Terapi
Bedah dari kriptorkismus ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kriptorkismus
adalah suatu keadaan di mana setelah usia satu sampai dua tahun, satu atau
kedua testis tidak berada di dalam kantong skrotum, tetapi berada di tempat
sepanjang jalur desensus testis yang normal.
Kriptorkismus
berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis yang
dalam bahasa latin disebut testis. Nama lain dari kriptorkismus adalah
undescended testis(UDT), testis ektopik ataupun pseudo kriptorkismus. Testis
yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal disebut sebagai testis
ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi dapat
didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila dilepaskan dinamakan
pseudokriptorkismus atau testis retraktil.
B. Epidemiologi
Besar
insidensi undesensus testikulorum berbeda pada tiap-tiap umur. Bayi baru lahir
(3 – 6%), satu bulan (1,8%), 3 bulan (1,5%), Satu tahun (0,5 – 0,8%). Bayi
lahir cukup bulan 3% diantaranya kriptorkismus, sedangkan yang lahir kurang
bulan sekitar 33% .
Pada
berat badan bayi lahir (BBL) dibawah 2000 gram insidensi UDT 7,7% BBL 2000-2500
(2,5%), dan BBL diatas 2500 (1,41%) Insidensi kriptorkismus unilateral lebih
tinggi dibanding kriptorkismus bilateral. Sedang insidensi sisi kiri lebih besar
(kiri 52,1% vs kanan 47,9%).
Dari
suatu penelitian didapatkan prevalensi di dunia dari 4,3% - 4,9% pada saat
lahir, 1% - 1,5% pada umur 3 bulan, dan 0,8% - 2,5% pada umur 9 bulan.
Sedangkan di AS, prevalensi kriptorkismus sekitar 3,7% saat lahir dan 1,1% dari
umur 1 tahun sampai dewasa, di Inggris insidensinya meningkat lebih
dari 50% pada kurun waktu 1965 – 1985. di FKUI – RSUPCM kurun waktu 1987 – 1993
terdapat 82 anak kriptorkismus, sedang di FKUSU – RSUP. Adam Malik Medan kurun
waktu 1994 – 1999 terdapat 15 kasus.
C. Etiologi
Penyebab
pasti kriptorkismus belum jelas. Dari hasil penelitian para ahli, menyatakan
bahwa ada beberapa penyebab dari kriptorkismus di antarnya:
1. Abnormalitas gubernakulum testis
Penurunan testis
dipandu oleh gubernakulum. Massa gubernakulum yang besar akan mendilatasi jalan
testis, kontraksi, involusi, dan traksi serta fiksasi pada skrotum akan
menempatkan testis dalam kantong skrotum. Ketika tesis telah berada di kantong
skrotum gubernakulum akan diresorbsi (Backhouse, 1966) Bila struktur ini tidak
terbentuk atau terbentuk abnormal akan menyebabkan maldesensus testis.
2. Defek intrinsik testis
Maldesensus dapat
disebabkan disgenesis gonadal dimana kelainan ini membuat testis tidak sensitif
terhadap hormon gonadotropin. Teori ini merupakan penjelasan terbaik pada kasus
kriptorkismus unilateral. Juga untuk menerangkan mengapa pada pasien dengan
kriptorkismus bilateral menjadi steril ketika diberikan terapi definitSif pada umur yang optimum. Banyak kasus kriptorkismus yang
secara histologis normal saat lahir, tetapi testisnya menjadi atrofi /
disgenesis pada akhir usia 1 tahun dan jumlah sel germinalnya sangat berkurang
pada akhir usia 2 tahun.
3. Defisiensi stimulasi hormonal / endokrin
Hormon gonadotropin
maternal yang inadequat menyebabkan desensus inkomplet. Hal ini memperjelas
kasus kriptorkismus bilateral pada bayi prematur ketika perkembangan
gonadotropin maternal tetap dalam kadar rendah sampai 2 minggu terakhir
kehamilan. Tetapi teori ini sulit diterapkan pada kriptorkismus
unilateral. Tingginya kriptorkismus pada prematur diduga terjadi karena
tidak adequatnya HCG menstimulasi pelepasan testosteron masa fetus akibat dari
imaturnya sel Leydig dan imaturnya aksis hipothalamus-hipofisis-testis.
Dilaporkan suatu percobaan menunjukkan desensus testis tidak terjadi pada
mamalia yang hipofisenya telah diangkat .
Rasfer
et al (1986) memperlihatkan penurunan testis dimediasi oleh androgen yang
diatur lebih tinggi oleh gonadotropin pituitary. Proses ini memicu kadar
dihidrotestotsteron yang cukup tinggi, dengan hasil testis mempunyai akses yang
bebas ke skrotum. Toppari & Kaleva menyebut defek dari aksis
hipotalamus-pituitary-gonadal akan mempengaruhi turunnya testis. Hormon utama
yang mengatur testis adalah LH dan FSH yang doproduksi oleh sel basofilik di
pituitary anterior yang diatur oleh LHRH. FSH akan mempengaruhi mempengaruhi
sel sertoli, epitel tubulus seminiferus. Kadar FSH naik pada kelainan testis.
Kriptorkismus
yang disertai defisiensi gonadotropin dan adrenal hipoplasia kongenital mungkin
berhubungan dengan sifat herediter. Corbus dan O’Connor, Perreh dan O’Rourke
melaporkan beberapa generasi kriptorkismus dalam satu keluarga. Juga ada
penelitian yang menunjukkan tidak aktifnya hormon Insulin Like Factor 3 (
Insl3) sangat mempengaruhi desensus testis . Insl3 diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi gubernakulum. Faktor lain yang diduga berperan
ialah berkurangnya stimulating substances yang diproduksi oleh nervus
genitofemoralis
D. Faktor Resiko
Karena
penyebab pasti kriptorkismus tidak jelas, maka kita hanya dapat mendeteksi
faktor resikonya. Antara lain :
1. BBLR (kurang 2500 mg)
2. Ibu yang terpapar estrogen selama
trimester pertama
3. Kelahiran ganda (kembar 2, kembar 3)
4. Lahir prematur (umur kehamilan kurang 37
minggu)
5. Berat janin yang dibawah umur kehamilan.
6. Mempunyai ayah atau saudara dengan
riwayat UDT
E. Patogenesis
1. Embriologi
Pada
minggu ke-6 umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi dari yolk
sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining region Y), maka
akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg berisi prekursor
sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel
Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif
berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müllerian
Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus
mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig.
Sel- Pada minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin
yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi
testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi
epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis.
Ketika
mesonepros mengalami degenerasi, suatu ligamen yang disebut gubernakulum akan
turun pada masing-masing sisi abdomen dari pole bawah gonal melintas oblik pada
dinding abdomen (yang kelak menjadi kanalis inguinalis) dan melekat pada
labioscrotal swelling ( yang kelak menjadi skrotum atau labia majora). Kemudian
kantong peritoneum yang disebut processus vaginalis berkembang pada masing-masing
sisi ventral gubernakulum dan mengalami herniasi melalui dinding abdomen bawah
sepanjang jalur yang dibentuk oleh gubernakulum. Masing-masing processua
vaginalis membawa perluasan dari lapisan pembentuk dinding abdomen,
bersama-sama membentuk funikulus spermatikus. Lubang yang ditembus oleh
processus vaginalis pada fascia transversalis menjadi anulus inguinalis
internus, sedang lubang pada aponeurosis m. obliquus abdominis externus
membentuk anulus inguinalis eksternus.
Sekitar
minggu ke-28 intrauterine, testis turun dari dinding posterior abdomen menuju
anulus inguinalis internus. Perubahan ini terjadi akibat pembesaran ukuran
pelvis dan pemanjangan ukuran tubuh, karena gubernakulum tumbuh tidak
sesuai proporsinya, mengakibatkan testis berubah posisi, jadi penurunannya
adalah proporsi relatif terhadap pertumbuhan dinding abdomen. Peranan
gubernakulum pada awalnya adalah membentuk jalan untuk processus vaginalis
selama pembentukan kanalis inguinalis, kemudian gubernakulum juga sebagai
jangkar/ pengikat testis ke skrotum. Massa gubernakulum yang besar akan
mendilatasi jalan testis, kontraksi, involusi, dan traksi serta fiksasi pada
skrotum akan menempatkan testis dalam kantong skrotum. Ketika tesis telah
berada di kantong skrotum gubernakulum akan diresorbbsi (Backhouse, 1966)
Umumnya dipercaya bahwa gubenakulum tidak menarik testis ke skrotum. Perjalanan
testis melalui kanalis inguinalis dibantu oleh peningkatan tekanan intra
abdomen akibat dari pertumbuhan viscera abdomen.
Mekanisme
yang berperan dalam proses turunnya testis belum sepenuhnya dimengerti,
dibuktikan untuk turunnya testis ke skrotum memerlukan aksi androgen yang
memerlukan aksis hipotolamus-hipofise-testis yang normal. Mekanisme aksi
androgen untuk merangsang turunnya testis tidak diketahui, tetapi diduga organ
sasaran androgen kemungkinan gubernakulum, suatu pita fibromuskuler yang
membentang dari pole bawah testis ke bagian bawah dinding skrotum yang pada
minggu-minggu terakhir intrauterin akan berkontraksi dan menarik testis ke skrotum.
Posisi testis saat turun berada di posterior processus vaginalis
(retroperitoneal) sekitar 4 minggu kemudian (umur 32 minggu) testis masuk
skrotum. Ketika turun, testis membawa serta duktus deferens dan vasanya
sehingga ketika testis turun, mereka terbungkus oleh perluasan dinding abdomen.
Perluasan fascia transversalis membentuk fascia spermatica interna, m. obliqus
abdominal membentuk fascia kremaster dan musculus kremaster dan apponeurosis m.
obliqus abdomenus eksternal membentuk fascia spermatica externus di dalam
skrotum. Masuknya testis di skrotum di ikuti dengan kontraksi kanalis
inguinalis yang menyelubungi funikulus spermatikus. Selama periode perinatal
processus vaginalis mengalami obliterasi, mengisolasi suatu tunica vaginalis
yang membentuk suatu kantong yang menutupi testis.
Pada
umumnya testis turun pada skrotum secara sempurna pada akhir tahun
pertama. Kegagalan testis turun tetapi masih pada jalur normalnya disebut
UDT(undescensus testiculorum). Testis dapat berada sepanjang jalur penurunan,
kadang setelah melewati kanalis inguinalis testis menyimpang dari jalur yang
seharusnya, dan menempati lokasi abnormal. Hal ini disebut testis ektopik.
Testis bisa terletak di interstitial (superfisial dari m. obliquus abdominis
externus) di paha sisi medial, dorsal penis atau kontralateralnya. Diduga
disebabkan oleh bagian gubernakulum yang melewati lokasi abnormal, dan testis
kemudian mengikutinya.
Pendapat
lain menyatakan bahwa penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10.
Walaupun mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat
bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin,
mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar
minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase
transabdominal dan fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol
hormonal yang berbeda.
Dengan
perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis akan terbawa
turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk
processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke-arah skrotum.
Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.
Fase
inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan minggu
ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke-dalam
skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara
pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin gene-related peptide
(CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP
yang menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum. Faktor mekanik yang turut
berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan
keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan
menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis
inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung
sampai bayi usia 9-12 bulan.
2. Perubahan PA
Penelitian
biopsi testis kriptorkismus menunjukkan bukti yang mengagetkan dimana epitel
germinativum dalam testis tetap dalam ukuran normal untuk dua tahun pertama
kehidupan. Sementara umur empat tahun terdapat penurunan spermatogonia sekitar
75 % sehingga menjadi subfertil / infertile
Setelah
umur enam tahun tampak perubahan nyata. Diameter tubulus seminiferus mengecil,
jumlah spermatogonia menurun, dan tampak nyata fibrosis di antara tubulus
testis. Pada kriptorkismus pascapubertas mungkin testis berukuran normal,
tetapi ada defisiensi yang nyata pada komponen spermatogenik sehingga pasien
menjadi infertil . Untungnya sel leydig tidak dipengaruhi oleh suhu tubuh dan
biasanya ditemukan dalam jumlah normal pada kriptorkismus. Sehingga impotensi
karena faktor endokrin jarang terjadi pada kriptorkismus Penelitian
dengan biopsi jaringan testis yang mengalami kriptorkismus menunjukkan tidak
terjadi abnormalitas kromosom. Maldescensus dan degenerasi maligna tidak dapat
disebabkan karena defek genetik pada testis yang mengalami undescensus testis.
F. Klasifikasi
Kriptorkismus
dapat diklasifikasi berdasarkan etiopatogenesis dan lokasi.
1. Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis:
a. Mekanik/anatomik (perlekatan-perlekatan,
kelainan kanalis inguinalis, dan lain-lain)
b. Endokrin/hormonal (kelainan aksis hipotalamus-hipofise-testis)
c. Disgenetik (kelainan interseks multiple)
d. Herediter/genetik
2. Klasifikasi berdasarkan lokasi:
a. Skrotal tinggi (supra skrotal) : 40%
b. Intra kanalikular (inguinal) : 20%
c. Intra abdominal (abdominal) : 10%
d. Terobstruksi : 30%
Major,
1974 membagi kriptorkismus (dalam pengertian umum) menjadi:
1. Retensio Testis (dystopy of testicle) à
Diklasifikasikan sesuai tempatnya
a. Abdominal testicle (retensi abdominal)
b. Canalicular testicle ( retensio
canalicularis superior et inferior ): testis benar-benar tak teraba
c. Inguinal testicle ( retensio inguinalis)
: testis teraba di depan anulus inguinalis eksternus
d. Testis reflexus (superfisial inguinal
ectopy): bentuk paling umum. Testis sebenarnya tidak melenceng dari alur
normal. Gubernakulum memandu testis menuju bagian bawah skrotum. Testis hanya
bertempat di anterior aponeurosis muskulus obliquus abdominis eksternus dan
sesungguhnya ini bukan suatu testis ektopik
2. The True Ectopic Testis
Di sini testis melewati canalis
inguinalis tetapi kemudian menempati daerah perineum, suprapubic dorsal pangkal
penis, bawah kulit pangkal femur sisi medial.
3. The Floating Testicle
Pada anak-anak kontraksi muskulus
kremaster dapat mengangkat testis dari posisis normal menuju kanalis
inguinalis. Refleks ini dipicu oleh rangsang dingin atau sentuhan. Jangan
keliru menganggap posisi ini dengan retensi testis. Tipe ini dibagi menjadi :
a. The Slidding Testicle ( Uper retractile
type). Testis dapat teraba dengan baik dari mid skrotum ke atas sampai di depan
aponeurosis muskulus obliquus abdominis eksternus di atas anulus inguinalis
eksternus.
b. The Pendulant testicle (Lower Retractile
Type). Testis bergerak bolak-balik antar bagian terbawah skrotum dan anulus
inguinalis eksternus.
G. Diagnosa
1. Anamnesis
Diagnosis UDT dapat dibuat oleh orangtua
anak atau dokter pemeriksa pertama. Umumnya diawali orangtua membawa anak ke
dokter dengan keluhan skrotum anaknya kecil. Dan bila disertai dengan hernia
inguinalis akan dijumpai pembengkakan atau nyeri berulang pada skrotum.
Anamnesis
ditanyakan :
a. Pernahkah testis diperiksa, diraba
sebelumnya di skrotum.
b. Ada tidaknya kelainan kongenital yang
lain, seperti hipospadia, interseks, prunne belly syndroma, dan kelainan
endokrin lain
c. Ada tidaknya riwayat UDT dalam keluarga.
Tanda kardinal UDT ialah tidak adanya satu atau dua testis dalam skrotum.
Pasien dapat mengeluh nyeri testis karena trauma, misal testis terletak di atas
simpisis ossis pubis. Pada dewasa keluhan UDT sering dihubungkan dengan
infertilitas.
2. Gejala Klinis
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter
karena orang tuanya tidak menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien
dewasa mengeluh karena infertilitas yaitu belum mempunyai anak setelah kawin
beberapa tahun. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang disebabkan
testis maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau berubah menjadi
tumor testis.
3. Pemeriksaan fisik
a. Penentuan lokasi testis. Beberapa posisi
anak saat diperiksa : supine, squatting, sitting. Pemeriksaan testis harus
dilakukan dengan tangan hangat. Pada posisi duduk dengan tungkai dilipat atau
keadaan relaks pada posisi tidur. Kemudian testis diraba dari inguinal ke arah
skrotum dengan cara milking. Bisa juga dengan satu tangan di skrotum sedangkan
tangan yang lain memeriksa mulai dari daerah spina iliaka anterior
superior menyusuri inguinal sampai kantong skrotum. Hal ini mencegah
testis retraksi karena pada anak refleks muskulus kremaster cukup aktif yang
menyebabkan testis bergerak ke atas / retraktil sehingga menyulitkan penilaian.
Penentuan posisi
anatomis testis sangat penting sebelum terapi karena berhubungan dengan
keberhasilan terapi. Testis retraksi tidak perlu terapi. Testis yang retraktil
sudah turun saat lahir, tetapi pada pemeriksaan tidak ditemukan di dalam
skrotum kecuali anak relaks.
b. Penentuan apakah testis palpabel
1) Testis teraba. Bila testis palpable
beberapa kemungkinan antara lain :
·
Testis
retraktil
·
UDT
·
Testis
ektopik
·
Ascending
Testis Syndroma. Ascending Testis Syndroma ialah testis dalam skrotum
/retraktil, tetapi menjadi lebih tinggi karena pendeknya funikulus spermatikus.
Biasanya baru diketahui pada usia 8 -10 tahun. Bila testis teraba maka tentukan
posisi, ukuran, dan konsistensi. Bandingkan dengan testis kontralateralnya.
2) Bila impalpable (tidak teraba) testis. Kemungkinannya
ialah :
·
Intrakanalikuler
·
intraabdominal,
·
Atrofi
testis
·
Agenesis.
·
Kadang
di dalam skrotum terasa massa seperti testis atrofi. Jaringan ini biasanya
gubernakulum atau epididimis dan vas deferens yang bisa bersamaan dengan testis
intraabdominal. Impalpable testis biasanya disertai hernia inguinal. Pada
bilateral impalpable testis sering berkaitan dengan anomali lain seperti
interseksual, prone belly syndrome.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. USG.
Dilakukan
bila testis impalpable dan merupakan modalitas pertama dalam menegakkan
diagnosis dari kriptorkismus.
Beberapa alasan
digunakan USG sebagai alat diagnose tambahan ialah:
1) Sekitar 72% kriptorkismus terletak
intrakanalikuler sehingga aksesibilitas USG cukup baik
2) Non invasif
3) Mudah didapat
4) Praktis/mudah dijadwalkan
5) Murah
Pada
USG testis prepubertas mempunyai gambaran ekhogenitas derajat ringan sampai
sedang, dan testis dewasa ekhogenitas derajat sedang.
USG
hanya efektif untuk mendeteksi testis di kanalis inguinalis ke superfisial, dan
tidak dapat mendeteksi testis di intraabdominal. Di luar negeri keberhasilannya
cukup tinggi (60-65%), sementara FKUI hanya 5,9%. Hal ini dipengaruhi oleh
pengalaman operator.
b. CT-Scan
Merupakan
modalitas kedua setelah USG. CT Scan dapat mendeteksi testis intraabdominal.
Akurasi CT Scan sama baiknya dengan USG pada testis letak inguinal, sedangkan
testis letak intraabdominal CT Scan lebih unggul ( CT Scan 96% vs USG 91%).
False positif / negatif biasanya akibat pembesaran limfonodi, dapat dibedakan
dengan testis karena adanya lemak di sekeliling limfonodi.
c. MRI
Dapat
mendeteksi degenerasi maligna pada kriptorkismus. Kelemahannya loop usus dan
limfonodi dapat menyerupai kriptorkismus.
d. Angiografi
Akurat
tetapi invasif sehingga tidak disukai. Venografi Gadolium dengan MRI lebih
akurat dibanding MRI tunggal.
e. Intravena urografi dikerjakan secara
selektif pada kasus yang dicurigai adanya kelainan saluran kemih bagian atas,
karena 10% kasus didapati horse shoe kidney, renal hipoplasia, ureteral
duplikasi, hidro ureter, dan hidronefrosis.
f. Laparoskopi dilakukan pada usia 1 tahun
sebagai diagnostik yang paling akurat untuk mengetahui lokasi testis sebagai
petunjuk untuk melakukan insisi pembedahan, untuk melihat apakah testisnya
normal, apakah vas spermatika buntu, atau adanya vassa di dalam abdomen.
Sebagai terapeutik untuk mereposisi testis yang abnormal. Sebagian besar testis
impalpable ditemukan pada operasi, paling tidak di anulus inguinalis interna.
5. Diagnosis Banding
a. Retraktil testis. Ini terjadi karena
hiperaktifnya refleks kremaster pada anak, sehingga testis bergerak ke kanalis
inguinalis. Biasanya, retraktil ini bilateral.
b. Anorchia bilateral. Pada keadaan ini,
didapati peningkatan kadar gonadotropin dengan testosteron yang rendah serta
kurangnya respons terhadap stimulasi HCG atau tidak ada sama sekali.
c. Virilisasi dari Hiperplasi adrenal
kongenital. Pada penderita wanita dengan penyakit yang berat, terlihat seperti
fenotip laki-laki dengan kriptorkismus bilateral. Karena itu, diperlukan
pemeriksaan buccal smear.
d. Ektopik testis.
6. Penatalaksanaan
Tujuan
dari penanganan kriptorkismus adalah :
1) Meningkatkan fertilitas
2) Mencegah torsio testis
3) Mengurangi resiko cidera khususnya bila
testis terletak di tuberkulum pubik
4) Mengkoreksi kelainan lain yang
menyertai, seperti hernia
5) Mencegah / deteksi awal dari keganasan
testis
6) Membentuk body image
a. Terapi non bedah
Berupa
terapi hormonal. Terapi ini dipilih untuk UDT bilateral palpabel inguinal.
Tidak diberikan pada UDT unilateral letak tinggi atau intraabdomen. Efek terapi
berupa peningkatan rugositas skrotum, ukuran testis, vas deferens, memperbaiki
suplay darah, dan diduga meningkatkan ukuran dan panjang vasa funikulus
spermatikus, serta menimbulkan efek kontraksi otot polos gubernakulum untuk
membantu turunnya testis. Dianjurkan sebelum anak usia 2 tahun, sebaiknya bulan
10 – 24.
1) HcG
Hormon
ini akan merangsang sel Leydig menproduksi testosteron. Dosis : Menurut Mosier
(1984) : 1000 – 4000 IU, 3 kali seminggu selama 3 minggu. Garagorri (1982) :
500 -1500 IU, intramuskuler, 9 kali selang sehari. Ahli lain memberikan 3300
IU, 3 kali selang sehari untuk UDT unilateral dan 500 IU 20 kali
dengan 3 kali seminggu. Injeksi HCH tidak boleh diberikan tiap hari untuk
mencegah desensitisasi sel Leydig terhadap HCG yang akan menyebabkan steroidogenic
refractoriness.
Hindari
dosis tinggi karena menyebabkan efek refrakter testis terhadap HCG, udem
interstisial testis, gangguan tubulus dan efek toksis testis. Kadar testosteron
diperiksa pre dan post unjeksi, bila belum ada respon dapat diulang 6 bulan berikutnya.
Kontraindikasi HCG ialah UDT dengan hernia, pasca operasi hernia,
orchydopexy, dan testis ektopik. Miller (16) memberikan HCG pada pasien
sekaligus untuk membedakan antara UDT dan testis retraktil. Hasilnya 20% UDT
dapat diturunkan sampai posisi normal, dan 58% retraktil testis dapat normal.
2) LHRH
Dosis
3 x 400 ug intranasal, selama 4 minggu. Akan menurunkan testis secara komplet
sebesar 30 – 64 %.
3) HCG kombinasi LHRH
Dosis : LHRH 3 x 400 ug, intranasal,
empat minggu . Dilanjutkan HCG intramuskuler lima kali pemberian selang sehari.
Usia kurang dari dua tahun : 5 x 250 ug, 3 -5 tahun : 5 x 500 ug, di atas
lima tahun : 5 x 1000 ug.
Respon terapi : penurunan testis 86,4%,
dengan follow up dua tahun kemudian keberhasilannya bertahan 70,6%.
Evaluasi terapi.
·
Berdasar
waktu : akhir injeksi, 1 bulan, 3 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
·
Berdasar
posisi : respon komplet bila testis berada di skrotum, sedang respon inkomplet
bila testis posisi inguinal rendah Efek samping bersifat reversibel. Ujud
kelainan berupa bertambah ukuran testis, pembesaran penis, ereksi, meningkatnya
rugositas skrotum, tumbuhnya rambut pubis hiperpigmentasi dan gangguan emosi
Hasil
penelitian kriptorkismus yang diberi terapi dengan HCG atau LHRH, tergantung
dari:
1. Posisi testis sebelum pengobatan. Terapi
hormonal lebih berhasil pada penderita dengan lokasi testis di inguinal dibandingkan
dengan intra abdominal.
2. Umur penderita saat pengobatan. Hasil
terapi lebih baik pada anak-anak dengan usia lebih besar dibanding anak usia
lebih rendah.
3. Bilateral/Unilateral kriptorkismus.
Terapi lebih berhasil pada penderita dengan kriptorkismus bilateral. Hal ini
mungkin disebabkan oleh lebih banyaknya ditemukan penyebab kelainan anatomi
pada kriptorkismus unilateral.
4. Kegagalan terapi hormonal disebabkan 80%
kasus karena adanya kelainan anatomis.
Efek Samping
Sebelum
pengobatan dimulai, kemungkinan terjadinya efek samping ini dijelaskan kepada
orangtua. Semua efek samping ini bersifat reversibel. Efek samping pengobatan
HCG antara lain:
1. Bertambahnya volume testis
2. Pembesaran penis
3. Ereksi
4. Meningkatnya rugocity skrotum
5. Kadang-kadang pertumbuhan rambut pubis
6. Pigmentasi
7. Gangguan emosi.
Sedangkan
LHRH tidak memberikan efek samping yang berarti. Walaupun banyak sekali
“controled trial” pemakaian hormonal pada undescended testis dengan hasil yang
bervariasi, terapi hormonal tetap merupakan pilihan utama pengobatan sebelum
dilakukan tindakan operasi.
b. Terapi Bedah
Tujuan
pembedahan adalah memobilisasi testis, adekuatnya suplai vasa spermatika, fiksasi
testis yang adequat ke skrotum, dan operasi kelainan yang menyertainya
seperti hernia.
1) Indikasi pembedahan :
·
Terapi
hormonal gagal
·
Terjadi
hernia yang potensial menimbulkan komplikasi
·
Dicurigai
torsio testis
·
Lokasi
intraabdominal atau di atas kanalis inguinalis.
H. Komplikasi
1. Hernia.
Sekitar 90% penderita
kriptorkismus menderita hernia inguinalis ipsilateralyang disebabkan oleh
kegagalan penutupan prosesus vaginalis.
2. Torsi.
Terjadi karena
abnormalnya jaringan yang menjangga testis yang kriptorkismus dan tingginya mobilitas testis16 serta sering
terjadi setelah pubertas.
3. Trauma.
Testis yang terletak di
atas pubic tubercle mudah terjadi injuri oleh trauma.
4. Neoplasma.
Testis yang mengalami
kriptorkismus pada dekade ke-3 atau ke-4, mempunyai kemungkinan keganasan 20–30
kali lebih besar daripada testis yang normal. Kejadian neoplasma lebih besar
terhadap testis intra abdominal yang tidak diterapi, atau yang dikoreksi secara
bedah saat/setelah pubertas, bila dibandingkan dengan yang intra kanalikular.
Neoplasma umumnya jenis seminoma. Namun, ada laporan bahwa biopsi testis saat
orchiopexy akan meningkatkan risiko keganasan.
5. Infertilitas.
Kriptorkismus bilateral
yang tidak diterapi akan mengalami infertilitas lebih dari 90% kasus, sedangkan
yang unilateral 50% kasus. Testis yang berlokasi di intra abdominal dan di
dalam kanalis inguinalis, akan mengurangi spermatogenik, merusak epitel
germinal.
6. Psikologis.
Perasaan rendah diri terhadap
fisik atau seksual akibat tidak adanya testis di skrotum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Diagnosis
kriptorkismus ditegakkan setelah usia 1 tahun, walaupun sesudah usia 9 bulan
hampir tidak didapatkan lagi penurunan testis secara spontan. Dianjurkan
diobati antara usia 10 bulan sampai 24 bulan.
Insiden
undescended testis lebih tinggi pada bayi kurang bulan, tetapi ada laporan pada
usia 3 bulan desensus testis lebih banyak terjadi dibandingkan dengan bayi
cukup bulan. Insidens kriptorkismus pada anak usia 1 tahun sebesar 0,5–0,8%.
Walaupun
penyebab kriptorkismus sebagian besar tidak diketahui, terapi hormonal
dianjurkan terutama terhadap kriptorkismus bilateral, lokasi testisnya di
inguinal, serta tidak dijumpai kelainan anatomi dan kontra indikasi terhadap
HCG.
Terapi
hormonal LHRH tidak dianjurkan karena potensinya di bawah HCG, dan sediaan obat
ini belum ada di Indonesia. Bervariasinya dosis dan lama pemberian HCG,
diperlukan penelitian untuk menilai mana yang lebih baik.
Terapi
bedah dilakukan bila tidak ada respons dengan pengobatan hormonal, terjadinya
obstruksi, hernia yang potensial menimbulkan obstruksi, atau dicurigai
terjadinya torsi.
B. Saran
Jika ada kesalahan dan kekeliruan
pada makalah ini maka kami meminta kritik maupun saran yang membangun dari
pembaca agar bisa lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mackellar A.
Appropriate management of the undescended testis. Journal of paediatrics,
obstettrics and gynaecology 1985; 10(1):23-8.
Pediatric Data
Base. Cryptorchidism. Available from : http://www.icondata.com/health/pedbase/files/cryptorc.html.
Parker RM.
Cryptorchidism. Peds Uro Logic. Available from:
http://www.pedsurologic.com/pamphlets/cryptorchidism/undescen dedTestes.html.
The Division of
Urology, Children’s Hospital, Boston. Undescended testes in children. Digital
Urology Journal. Available from : http://www.duj.com/testis.html.
Griffith HW.
Testes, undescended (cryptorchidism). The complete guide to pediatric symptoms,
illness & medicalitions [cited the Putnam Berkley Group. Inc.; electronic
rights by Medical Data Exchange]. Available from:
http://www.thriveonline.com/health/library/pedillsymp/pedillsymp411.html.
Kids Health Org.
The facts on undescended testicles. Available from:
http://kidshealth.org/parent/healthy/crypro.html.
Braunstein GD.
Cryptorchidism. Dalam : Greenspan FS, Strewler GJ, penyunting. Basic &
Clinical endocrinology. Edisi ke-5. London: Prentice-Hall, 1997. h.419-20.
Himawan S. Segi
patologik kriptokismus. Disampaikan pada Simposium Sehari Tatalaksana Optimal
Kriptorkismis, Jakarta, 13 Agustus, 1994.
Batubara JRL.
Terapi hormonal pada kriptorkismus. Disampaikan pada Simposium Sehari
Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta, 13 Agustus, 1994.
Santen RJ.
Cryptorchidism. Dalam : Felig P, Baxter JD, Broadus AE, Frohman LA, penyunting.
Endocrinology and metabolism. Edisi ke-2. New York: Mc Graw-Hill, 1987.
h.883-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar