BAB 1
pendahuluan
Latar Belakang
Atresia koana merupakan suatu kelainan
perkembangan kegagalan hubungan antara kavum nasi bagian posterior dengan
nasofaring. Kelainan ini pertama
sekali dilaporkan oleh Roederer (1775 ) dan merupakan salah satu kelainan
kongenital pada hidung yang sering di jumpai, walaupun kejadian pastinya tidak
di ketahui.
Kejadian atresia koana kongenital
berkisar antara 1 dalam 5000 - 8000 angka kelahiran hidup, di mana dapat
terjadi secara unilateral maupun bilateral. Penutupan dapat terjadi secara
parsial atau total dan bisa berupa membran atau tulang. Hampir 90% atresia
koana adalah jenis tulang sedangkan 10% adalah jenis membran.
Dalam 6 minggu pertama kehidupan,
bayi bernafas sangat tergantung pada hidungnya. Hal ini disebabkan karena lidah
bayi yang baru lahir mengisi hampir seluruh rongga mulut dan epiglotis agak
condong ke depan dekat ke palatum mole. Anatomi ini menyebabkan kebiasaan bayi
untuk bernafas melalui hidung daripada mulut. Dan untuk bernafas melalui mulut,
bayi memerlukan waktu untuk belajar yang biasanya sekitar 4 – 6 minggu. Pada
atresia koana bilateral bayi tidak mampu merubah kebiasaan ini tanpa menangis.
Oleh karena itu atresia koana bilateral pada bayi baru lahir merupakan hal yang
mengancam jiwa dan memerlukan pertolongan yang cepat untuk menyelamatkan
hidupnya.
Terdapat satu kasus atresia koana
bilateral kongenital yang terdiri dari tulang pada bayi perempuan usia 1½ bulan
dan telah dilakukan rekonstruksi koana dengan bor di sertai pemasangan stent
plastik.
Atresia koana kongenital terjadi
antara 1 dalam 5000 sampai 8000 kelahiran hidup, tetapi bagaimana pun sulit
untuk menentukan insidens yang akurat karena banyak bayi yang dispnea dan
meninggal segera setelah lahir akibat gagal bernafas melalui hidung dan tidak
terdeteksi. Sebanyak 90% dari atresia koana kongenital biasanya berupa tulang
dan sisanya adalah membran. Unilateral lebih sering dari bilateral dengan
perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1
1.2
Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan
definisi dari atresia koana?
2.
Menjelaskan
penyebab dari atresia koana?
3.
Mengetahui cara mendiagnosis?
4.
Menjelaskan cara penatalaksanaannya?
5.
Mengetahui tindakan bidan ?
6.
Menjelaskan
WOC atresia koana?
7.
Mengetahui cara pencegahannya?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui
secara umum mengenai anatomi hidung.
2.
Mengetahui
definisi, manifestasi klinis, diagnosis pada atresia koana.
3.
Melaksanakan
tugas persepsi sensori pada hidung.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua
posterior kavum nasi oleh membran abnormal atau tulang. Hal ini terjadi akibat
kegagalan embriologik dari membran bukonasal untuk membelah sebelum kelahiran.
Kelainan ini dapat terjadi bersamaan dengan kelainan congenital lainnya yaitu
koloboma, kelainan jantung, retardasi mental, kelainan pertumbuhan dan Charge
syndrome. Kelainan congenital lainnya adalah Crouzon syndrome, Pfeiffer
syndrome dan Antley-Bixler syndrome.
2.2
Etiologi
Penyebab pasti dari atresia koana
masih belum diketahui, namun banyak dugaan daripada ahli yang berteori tentang
terjadinya atresia koana. Yakni pada masa embriologi dalam pembentukan hidung,
pada dua lapisan membrane yang terdiri atas nasal dan oral epitel terjadi
ruptur dan merubah bentuk koana yang kemudian menjadi atresia koana. Penyebab
lain yang menjadi dugaan antara lain adanya keterlibatan kromosom yang dapat
menyertai kelainan kongenital lain seperti facial, nasal dan palatal
deformities, polydactylism, congenital heart disease, coloboma of the iris and
retina, mental retardation, malformations external ear, esophageal atresia,
craniosynostosis, tracheoesophageal fistula dan meningocele.
2.3
Patofisiologi
Banyak teori
yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum ada teori
pasti tentang kelainan ini. Teori tersebut antara lain:
- Membran
buccopharyngeal yang persisten
- Kegagalan
membrane buccopharyngeal dari hochstetter yang ruptur
- Bagian
medial yang tumbuh keluar dari vertikal dan horizontal tulang palatine
- Abnormal
mesodermal yang adhesi pada area koana
-
Misdirection dari aliran mesodermal akibat faktor local
2.4
Klasifikasi
Berdasarkan derajatnya, atresia
koana dapat dibedakan menjadi:
-
Atresia
koana unilateral
-
Atresia
koana bilateral
Berdasarkan tipenya terdapat 3 tipe
atresia koana yaitu:
a)
Tipe tulang
(bony)
b)
Tipe
membrane (membranous)
c)
Campuran
antara tulang dan membrane
2.5 Faktor pemicu terjadinya
kelainan kongenital
- Kelainan Genetik dan Khromosom. Kelainan
genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas
kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang
mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang
bersangkutan sebagai unsur dominan (“dominant traits”) atau kadang-kadang
sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya
kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu
langkah-langkah selanjutya. Dengan adanya kemajuan dafam bidang teknologi
kedokteran, maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan
kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan
tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainankhromosom autosomai
trisomi 21 sebagai sindroma Down (mongolism) kelainan pada kromosom
kelamin sebagai sindroma Turner.
- Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan
kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut.
Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah
terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah
kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes
equinus dan talipes equinovarus (clubfoot)
- Faktor infeksi. Infeksi
yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada
periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya
infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan
gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer
pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula
meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus
pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama
dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan
pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung
bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat
menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus
sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang
mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat
seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia.
- Faktor Obat Beberapa
jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama
kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan
kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat
menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan
terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang
diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula
hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara
laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan,
khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak
perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar dihindari karena
calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada
pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau
prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu
dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap
bayi.
- Faktor umur ibu Telah
diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru
lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara
klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup
dan ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35
tahun atau lebih; angka keadaan yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk
kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk kelompok ibu berumur
35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 – 44 tahun dan 1 : 15
untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.
- Faktor hormonal Faktor
hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan
kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu
penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan
pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.
- Faktor radiasi Radiasi
ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan
kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang
tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin
sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya.
Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan
dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.
- Faktor gizi Pada
binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada
penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital
pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih
tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik
gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A
ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian
&elainan kongenital.
- Faktor-faktor lain Banyak
kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya
sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor
penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga
dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai
tidak diketahui.
2.5
Manifestasi Klinis
Pada atresia koana unilateral
mungkin tidak ada gejala dan jarang menimbulkan gawat nafas dan biasanya di
ketahui belakangan karena sekret hidung terus menerus atau hidung tersumbat
pada satu sisi. Pada bayi di curigai atresia unilateral apabila sewaktu menyusu
pada ibunya dengan posisi tertentu, lubang hidung yang normal tersumbat oleh
payudara ibunya sehingga bayi akan terlihat sulit bernafas sampai sianosis.
Pada tipe bilateral akan segera
terlihat gejala gangguan pernafasan seperti nafas yang tersendat-sendat tidak
teratur, tampak biru jika bibir tertutup atau sewaktu di beri minum dan akan
merah kembali jika bibir terbuka atau sedang menangis.
Selain kesulitan bernafas juga timbul
kesulitan sewaktu makan dan minum karena mulut yang biasanya digunakan untuk
bernafas digunakan untuk makan atau minum. Jika bayi dapat bertahan hidup
dengan bantuan jalan nafas melalui mulut, gastric feeding tube, puting
Mc Govern dan sebagainya, bayi akan memperlihatkan gejala dan tanda klasik
atresia koana bilateral yaitu :
1. Bernafas
melalui mulut yang konstan
2. Sekret
hidung bilateral yang kental
3. Gangguan
penciuman dan pengecapan.
4. Kurang
gizi.
5. Gangguan bicara.
Hampir 50% kasus atresia koana
sering disertai dengan kelainan-kelainan kongenital lainnya, terutama pada
kasus yang bilateral. Bergstorm, mengemukakan istilah CHARGE untuk kelainan
yang sering berhubungan dengan atresia koana yaitu : Coloboma blindness, Heart
disease (kelainan jantung), Atresia koana, Retarded growth and
development (keterbelakangan mental dan perkembangan), Genital anomalies
in male (hipoplasia alat kelamin laki-laki) dan Ear anomalies and
deafness (gangguan pendengaran).
2.5 DIAGNOSIS
Dianognis yang ditegakan
berdasarkan alo anamesis, gambaran klinis dan pemerikasan penunjang.dari alo
anamesis diketahui penderita kesulitan bernafas dan terlihat tersendat-sendat
tidak teratur. Bayi akan terlihat biru suatu bibir tertutup dan akan merah kembali
bila mulut terbuka atau sedang menangis
Pemeriksaan lebih lanjut
dapat dilakukan:
1.
Meletakan kapas atau kaca didepan hidung,bila terdapat udara kapas akan
bergerak dan kaya akan ber embun
2.
Memasukan kateter karet kedalam lubang hidung koparing dan akan terdapat
kandung
3.
Pemerisaan nasoparing secara digital
4.
Pemeriksaan kaca rinoskopi posterior
5.
Meneteskan metilen blue kehidung dan dilihat keberadaanya melalui mulut
6.
Pemeriksaan radiologi
a.
Fotopolos hidung lateral dengan memakai zat kontras dalam posisi
berbaring dapat menentukan kekebalan atresia dari kontras di hidung dan udara
dinassopari.
b.
Ctissken dapat membedakan atresia bentuk tulang atau membran dan dapat
menentukan angunlasi serta tebalnya.
2.6
Penatalaksanaan
Prioritas utama pada bayi baru lahir
adalah menjaga pernafasan melalui mulut dengan memasukkan saluran udara plastik
ke dalam mulut bayi. Alternatif lain adalah merekatkan puting karet botol bayi
(puting Mc Govern) yang dapat dilakukan sampai 1 tahun untuk mendapatkan
lapangan operasi yang lebih luas (2 kali waktu lahir). Trakeostomi biasanya
tidak dilakukan kalau Mc Govern bisa di pasang.
Atresia koana dapat di koreksi dengan
tindakan bedah baik secara transnasal atau transpalatal. Transnasal lebih
sederhana dan mudah dilakukan, tidak mengganggu perkembangan palatum durum,
operasi sebentar, lebih sedikit perdarahan serta dapat dikerjakan pada bayi
yang sangat muda usianya tetapi lebih sering menyebabkan restenosis.
Banyak ahli berusaha mencegah stenosis kembali dengan pemasangan stent
sampai terjadi epitelisasi sempurna (2 – 5 bulan). Dapat digunakan pipa
berbentuk huruf U yang di pasang di depan kollumella dan di beri lubang di
bagian depan untuk pernafasan. Sedangkan transpalatal memberikan visualisasi
yang lebih baik dengan insidens restenosis yang lebih rendah. Ada
beberapa cara insisi palatum pada metode ini tetapi yang paling sederhana
adalah insisi midline.
Pada tipe membran, atresia dapat di
tembus melalui hidung dan di ikuti dengan pemasangan stent selama 6 minggu.
Pada oklusi tulang perlu dilakukan perforasi dan pemecahan dinding pemisah
dengan bor, pahat dan kuret serta seluruh tulang yang menutupi harus di angkat.
Pada atresia koana unilateral,
tindakan bedah dilakukan setelah pasien dewasa. Metode transnasal biasanya
memberikan hasil yang baik sehingga pendekatan transpalatal jarang
digunakan. Pada atresia koana bilateral biasanya operasi menggunakan mikroskop
atau alat endoskopi, dengan selalu berpedoman pada dasar hidung. Kesalahan
kearah superior dapat mengakibatkan terkenanya intra kranial (basis sfenoid)
dan dapat timbul komplikasi yang serius.
2.8 Beberapa
Cara Untuk Meminimalisir Terjadinya Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital ini dapat disebabkan
oleh berbagai hal, dimulai dari faktor gizi, sampai paparan zat berbahaya.
Terdapat beberapa hal yang dapat dialkukan sang ibu untuk mencegah terjadinya
kelainan kongenital ini.
1.
Diet yang baik selama
masa reproduktif. Pastikan asupan yang cukup vitamin dan mineral seperti asam
folat, iodin. Hindari asupan yang berbahaya seperti alkohol.
2.
Hindari paparan zat
berbahaya seperti logam berat, dan pestisida. Jangan minum obat sembarangan
selama kehamilan, konsultasikan dulu terhadap dokter sebelum mengkonsumsi obat.
3.
Tingkatkan cakupan
vaksinasi, khususnya vaksinasi terhadap virus Rubella untuk anak-anak dan ibu.
4.
Kontrol rutin ke
dokter untuk memantau perjalanan kandungan Anda dan juga untuk skrining
antenatal seperti pemeriksaan darah dan USG. Skrining serum ibu dapat digunakan
untuk mendeteksi sindrom down dan kelainan tabung saraf. USG dapat mendeteksi
sindrom down selama kehamilan trimester pertama, dan berbagai kelainan fetus
selama trimester kedua.
BAB III
KASUS ATRESIA KOANA
Seorang ibu bernama S. Fatimah usia
30 tahun bekerja sebagai pedagang, membawa bayi perempuannya berinisial W, usia
1½ bulan dan beralamat di JL. Kamboja 13 Sampang, datang ke Bagian THT BRSUD
Sampang tanggal 23 Mei 2000 jam 11.00. Dari allo anamnesis di jumpai adanya
keluhan pasien terlihat sesak dan membiru apabila di beri minum dan memerah
kembali setelah menangis. Kemudian kedua lubang hidung selalu berair sejak
lahir dan pasien kelihatan selalu bernafas melalui mulut. Dari data yang
diperoleh riwayat penyakit penghidu pada keluarga tidak ada.
Dilakukan operasi rekonstruksi koana
pada tanggal 30 Mei 2000. Sebelum operasi kavum nasi di evaluasi dengan
endoskopi, terlihat obstruksi berupa tulang yang di tutupi mukosa pada kedua
koana. Secara hati-hati dengan pedoman dasar hidung daerah tersebut di bor
dengan bor diamond yang di beri pelindung pipa karet sampai tembus ke
nasofaring. Dengan trokar lurus, daerah tersebut dilebarkan secara hati-hati
sampai diameter 5 mm dan di kontrol dengan jari di daerah nasofaring. Lalu
evaluasi kembali dengan endoskopi, melalui trokar terlihat mukosa nasofaring.
Kateter karet dimasukkan melalui trokar ke nasofaring terus ke mulut dan di
ikat ujungnya dengan benang, dan di tarik lagi keluar hidung lalu trokar
dikeluarkan. Terhadap ujung benang yang satu lagi dilakukan hal yang sama pada
lubang hidung sebelahnya sehingga kedua ujung benang keluar melalui kedua
lubang hidung. Kedua ujung benang dimasukkan ke dalam pipa dari slang infus
yang di beri lubang-lubang kecil sepanjang ± 5 cm dan dibengkokkan seperti
huruf U, lalu dikeluarkan kedua ujungnya di pertengahan slang tersebut yang di
lubangi ± 1 cm. Slang dimasukkan ke dalam lubang hidung dan benang di ikat
untuk fiksasi. Kontrol perdarahan (-). KU post op : baik. Sewaktu pasien sadar,
bisa bernafas melalui hidung (di tes dengan kapas di depan hidung).
BAB IV
ASUHAN KEBIDANAN PADA KLIEN ATRESIA
KOANA
3.1 Pengkajian :
a) Identitas
Anak
-
Nama
: An. W
-
Usia
: 1½ bulan
-
Suku
: Madura
-
Jenis
kelamin
: Perempuan
-
Agama
: Islam
-
Alamat
: JL. Kamboja 13
Sampang
b) Identitas
Orang Tua
-
Nama
Ibu
: S. Fatimah
-
Usia
: 30
tahun
-
Suku
: Madura
-
Jenis
kelamin
: Perempuan
-
Pendidikan
: SD
-
Pekerjaan
: Pedagang
-
Agama
: Islam
-
Alamat
: JL. Kamboja 13
Sampang
-
Hubungan
: Ibu
c)
Keluhan
utama
-
Sesak dan
membiru apabila di beri minum dan memerah kembali setelah menangis
d)
Riwayat
penyakit sekarang
-
Dijumpai
adanya keluhan pasien terlihat sesak dan membiru apabila di beri minum dan
memerah kembali setelah menangis. Kemudian kedua lubang hidung selalu berair
sejak lahir dan pasien kelihatan selalu bernafas melalui mulut.
e)
Riwayat
penyakit dahulu
-
Tidak ada
penyakit yang diderita secara specific.
f)
Riwayat
penyakit keluarga
-
Tidak ada
riwayat penyakit penghidu pada keluarga.
3.2 Pemeriksaan
Fisik :
-
KU / KP / KG
: sedang / kurang.
-
BB
: 2,9 kg
-
Suhu
: 38˚C
-
RR
: dispnea (-), sianosis (-)
-
Hidung
: Rh. Ant :
kavum nasi lapang
-
Mukosa
: normal, sekret jernih (+ ), massa (-).
-
Rh.
Post : koana tidak bisa
di periksa.
3.3 Pemeriksaan
Penunjang
a) Meletakkan
kapas atau kaca di depan hidung. Bila terdapat udara, kapas akan bergerak dan
kaca akan berembun.
b) Memasukkan
kateter karet melalui lubang hidung ke faring dan akan terdapat tahanan.
Pemeriksaan nasofaring secara digital.
c) Pemeriksaan
kaca rinoskopi posterior.
d) Meneteskan
metilen blue ke hidung dan di lihat keberadaannya melalui mulut.
e) Pemeriksaan
radiologi :
-
Foto polos
hidung lateral dengan memakai zat kontras dalam posisi berbaring dapat
menentukan ketebalan atresia dari kontras di hidung dan udara di nasofaring.
-
CT Scan
dapat membedakan atresia bentuk tulang atau membran dan dapat menentukan angulasi
serta tebalnya.
f)
Konsul
Kardiologi Anak
-
Tidak ada
kelainan kardiologi
g)
Konsul
Bagian I. Penyakit Mata
- Tidak di
jumpai kelainan
h) Terapi
-
Inj.
Ampisillin
-
Inj. Asam
traneksamat
3.4 Analisa Data
DATA
|
ETIOLOGI
|
PROBLEM
|
DS: pasien terlihat sesak dan membiru apabila di
beri minum dan memerah kembali setelah menangis.
DO: suhu 38˚C, RR= dispnea, kulit terlihat sianosis,
BB= 2,9 kg.
|
Atresia koana unilateral
Secret hidung satu sisi
Pada bayi menyusui
Dipsnea
Sianosis
|
Pola nafas tidak efektif
|
DS: ibu klien mengatakan kedua lubang hidung An.W
selalu berair sejak lahir.
DO: pasien terlihat selalu bernafas melalui mulut.
|
Bantuan nafas
Mulut
Bernafas konstan
|
Gangguan nafas
|
DS: ibu klien mengatakan Pendidikannya hanya smpai
sekoah dasar.
DO: ibu klien terlihat bingung atau tidak paham atas
informasi yang diberikan.
|
Keterbatasan informasi
|
Kurangnya pengetahuan
|
DS: klien merasa lemas, nafsu makan turun.
DO: kurus, BB menurun
|
Sulit makan & minum
Bantuan nafas mulut
Kurang gizi
|
Nutrisi kurang dari kebutuhan
|
DS: klien merasa sulit makan & minum
DO: berat badan turun & porsi makan sedikit
|
Bantuan jalan nafas mulut
Gangguan penciuman & pengecap
|
Gangguan persepsi sensori
|
3.5
Diagnosa
Kebidanan
·
Pola nafas
tidak efektif b.d adanya secret dalam hidung.
·
Gangguan
nafas b.d ketidakefektifan jalan nafas.
·
Kurangnya
pengetahuan b.d keterbatasan informasi.
·
Nutrisi
kurang dari kebutuhan b.d menurunnya nafsu makan.
·
Gangguan
persepsi sensori penciuman (hidung) & pengecap
·
Gangguan
konsep diri citra tubuh yang b.d perubahan persepsi
3.6 Intervensi
dan Rasional
·
Pola nafas
tidak efektif b.d adanya secret dalam hidung.
Tujuan :
Pola nafas menjadi
efektif dalam 10 – 15 menit setelah dilakukan tindakan.
Kriteria Hasil :
-
RR normal (16 – 20 x/menit)
-
Suara napas vesikuler
-
Pola napas teratur tanpa menggunakan otot bantu pernapasan
-
Saturasi oksigen 100%
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Observasi:
Observasi RR tiap 4 jam, bunyi napas, kedalaman
inspirasi, dan gerakan dada
Auskultasi bagian dada anterior dan posterior
Pantau status oksigen pasien
Mandiri :
Berikan posisi fowler atau semifowler tinggi
Lakukan nebulizing
Berikan O2 (oksigenasi)
Kolaborasi:
Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik,
ekspetoran, bronkodilator.
Edukasi:
Ajarkan batuk efektif pada pasien
Ajarkan terapi napas dalam pada pasien
|
Mengetahui keefektifan pola napas
Mengetahui adanya penurunan atau tidak adanya ventilasi
dan adanya suara napas tambahan
Mencegah terjadinya sianosis dan keparahan
Mencegah obstruksi/aspirasi, dan meningkatkan
ekspansi paru
Membantu pengenceran sekret
Mengkompensasi ketidakadekuatan O2 akibat
inspirasi yang kurang maksimal
Mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran untuk
membantu memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan spasme bronkus dan
analgetik diberikan untuk meningkatkan kenyamanan
Membantu pasien untuk mengeluarkan sekret yang
menumpuk
Membantu melapangkan ekspansi paru
|
·
Gangguan
nafas b.d ketidakefektifan jalan nafas.
Tujuan : pola nafas menjadi efektif.
Kriteria Hasil : menunjukkan pola nafas yang
efektif tanpa adanya gangguan nafas
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Respiratory monitoring:
Monitor rata-rata irama, kedalaman dan usaha untuk
bernafas.
Catat gerakan dada, lihat
kesimetrisan, penggunaan otot Bantu dan retraksi dinding dada.
Monitor suara nafas
Monitor kelemahan otot
diafragma
Catat omset, karakteristik dan
durasi batuk
|
Mengetahui keefektifan pernafasan
Untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernafasan
Mengetahui penyebab nafas tidak efektif
|
·
Kurangnya
pengetahuan b.d keterbatasan informasi.
Tujuan : pasien mengerti proses penyakitnya dan program
perawatan serta therapi yang diberikan
Kriteria
Hasil :
-
Mampu
menjelaskan kembali tentang penyakit
-
Mengenal
kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa cemas
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
. Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya
Jelaskan tentang proses penyakit (tanda
dan gejala), identifikasi kemungkinan penyebab. Jelaskan kondisi tentangklien
Jelaskan tentang program pengobatan dan
alternatif pengobatan
Diskusikan perubahan gaya hidup yang
mungkin digunakan untuk mencegah komplikasi
Diskusikan tentang terapi dan pilihannya
Eksplorasi kemungkinan sumber yang bisa
digunakan/ mendukung
Instruksikan kapan harus ke pelayanan
Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit, prosedur perawatan dan
pengobatan
|
Mempermudah dalam
memberikan penjelasan pada klien
2. Meningkatan
pengetahuan dan mengurangi cemas
3. Mempermudah
intervensi
4.
Mencegah keparahan penyakit
Memberi gambaran tentang pilihan terapi
yang bisa digunakan
6.
Mereview
|
·
Nutrisi
kurang dari kebutuhan b.d menurunnya nafsu makan
Tujuan
: kebutuhan nutrisi
pasien bisa terpenuhi
Kriteria
Hasil :
- Pasien
mampu menghabiskan diet yang dihidangkan
- Tidak
ada tanda-tanda malnutrisi
- Nilai
laboratorim, protein total 8-8 gr%, Albumin 3.5-5.4 gr%, Globulin 1.8-3.6 gr%,
HB tidak kurang dari 10 gr %
- Membran
mukosa dan konjungtiva tidak pucat
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Eating disorder manajemen:
Tentukan kebutuhan kalori
harian
Ajarkan klien dan keluarga
tentang pentingnya nutrient
Monitoring TTV dan nilai
Laboratorium:
Monitor intake dan output
Monitor intake kalori harian
Pertahankan kepatenan pemberian
nutrisi parenteral
Pertimbangkan nutrisi enteral
Pantau adanya Komplikasi GI
Terapi gizi:
Monitor masukan makanan/
minuman dan hitung kalori harian secara tepat
Kaloborasi ahli gizi:
Pastikan dapat diet TKTP
Berikan perawatan mulut
Pantau hasil labioratoriun protein, albumin,
globulin, HB
Jauhkan benda-benda yang tidak
enak untuk dipandang seperti urinal, kotak drainase, bebat dan pispot
Sajikan makanan hangat dengan
variasi yang menarik
|
Mengetahui kebutuhan kalori harian. Memudahkan dalam
monitoring status nutrisi.
Nutrisi enteral meningkatkan fungsi sistem
pencernakan.
Penanda malnutrisi
Penentuan jumlah kalori dan bahan makanan yang
memenuhi standar gizi.
Mencegah penurunan nafsu makan
Penanda kekurangan nutrisi
Dapat mengurangi nafsu makan
Menambah selera makan psien
|
·
Gangguan
persepsi sensori penciuman (hidung) & pengecap
Tujuan : mengembalikan fungsi penciuman & pengecap
ke normal
Kriteria Hasil : individu akan mendemonstrasikan
penurunan gejala beban sensori berlebih yang ditandai dengan penurunan persepsi
penciuman & pengecap
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Anjurkan klien untuk mengubah posisi secara sering,
meskipun hanya mengangkat satu sisi tubuh dengan sedikit berulang
Rujuk ke perubahan proses pola berpikir yang
berhubungan dengan ketidakmampuan mengevaluasi realitas untuk mengetahui
intervensi tambahan
Dengan meningkatkan stimulus sensori yang bervariasi
hal ini dapat membantu mencegah perubahan akibat kemunduran sensori yang lain
Dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang stimulus
sensori yang akan dialami individu, kondisi distress, tekanan dan konfusi
akan berkurang
Kualitas/kuantitas input sensori berkurang akibat
immobilitas/pengurangan
|
|
Gangguan konsep diri citra tubuh
yang b.d perubahan persepsi
Tujuan : menerima dan meningkatkan harga diri
Kriteria Hasil
:
-
Citra tubuh positif dan akurat
-
Konsep diri yang positif menunjukan bahwa individu
akan sesuai dalam hidupnya
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Dorong pasien untuk
mengekspresikan perasaan khususnya mengenai pikiran, perasaan, pandangan
dirinya.
Catat prilaku
menarik diri. Peningkatan ketergantungan, manipulasi atau tidak terlibat pada
perawatan.
Pertahankan
pendekatan positif selama aktivitas perawatan.
|
Membantu pasien
untuk menyadari perasaannya yang tidak biasa.
Dugaan masalah pada
penilaian yang dapat memerlukan evaluasi tindak lanjut dan terapi yang lebih
ketat.
Bantu pasien/orang
terdekat untuk menerima perubahan tubuh dan merasakan baik tentang diri
sendiri.
|
3.7
Evaluasi
Ketika merawat klien yang mengalami
perubahan sensori, perawat mengevaluasi apakah tindakan perawatan meningkatkan
atau paling tidak mempertahankan kemampuan klien untuk berinteraksi dan
berfungsi dalam lingkungan. Sifat dasar perubahan sensori
klien mempengaruhi cara perawat mengevaluasi perawatan. Perawat mengadaptasikan
hasil evaluasi pada klien yang defisit sensori untuk menentukan apakah hasil
actual sama dengan hasil yang diharapkan. Misalnya, perawat menggunakan teknik
komunikasi yang sesuai untuk mengevaluasi apakah klien yang mengalami
defisit penghidu mencapai kemampuan penciuman dengan lebih efektif.
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua
posterior kavum nasi oleh membran abnormal atau tulang. Kelainan ini dapat
terjadi bersamaan dengan kelainan congenital lainnya yaitu koloboma, kelainan
jantung, retardasi mental, kelainan pertumbuhan dan Charge syndrome.
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya
atresia koana, namun belum ada teori pasti tentang kelainan ini.
4.2 Saran
Mahasiswa keperawatan dan seseorang
yang profesinya sebagai perawat diharapkan mampu memahami dan menguasai
berbagai hal tentang Atresia Koana seperti etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, dan lainnya, serta asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien yang
menderita atresia koana, agar gangguan pada daerah hidung ini dapat teratasi
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey
bj head and neck surgey-otolaryngology. Vol.1.philadelphia: jb lippincott
company,1993.h.921
Cinnamod
mj.choanal atresia dalam: adam DA,
cinnamord MJ,ED ,SCOTT-BROWN’S 1997.H.6/15/2-5.
Bluestone
CD. Choanal atresia.dalam:blue CD,stool SE. SCHEETZ MD,ed.Goodwin wj godley f. Choana atresia dalam :lee
KJ,ED.TEXTBOOK OF OTOLATRYOLOGY AND and neks surgey.new york: Elsevier,
1989.h.228.
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya,penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.Makalah ini di susun sedemikian rupa berdasarkan
metode sekunder yakni dengan telaah kepustakaan agar pembaca umumnya dan
mahasiswa DIII Kebidanan khususnya dapat belajar dengan mudah,dengan metode
pembelajaran bervariasi dan dapat memberikan berbagai pengalaman belajar untuk
memahami konsep dan asuhan dalam kebidanan terutama pada Kelainan Kongenital
Atresia Koana.Dengan begitu setelah melakukan proses pembelajaran mahasiswa
diharapakn dapat mencapai tingkat kompetensi yang telah di tentukan setelah
dengan standar pendidikan nasional.
Penulis menguncapakan
terima kasih kepada semua pihak yang terkait dalam penyususnan makalah ini
sehingga dapat terselesaikan.walaupun dalam bentuk sederhana. Penulis sangat menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat merasa
bangga jika di dukung dengan saran maupun kritikan yang sesuai dengan presepsi
makalah yang kami buat.karena sekecil-kecilnya kesalahan,maka akan mengurangi
nilai kesempurnan.sebagai ungkapan penutup penulis mengucapan maaf apabila
terdapat kesalahan dan kesamaan pada makalah ini.
Jakarta,19 November 2014
..................
PENULIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar