BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Bayi yang lahir dengan keadaan sehat
serta memiliki anggota tubuh yang lengkap dan sempurna merupakan harapan dari
seorang Ibu dan seluruh keluarga. Namun terkadang pada beberapa keadaan
tertentu didapati bayi yang lahir kurang sempurna karena mengalami kelainan
bentuk anggota tubuh. Salah satu kelainan adalah kelainan bawaan pada kaki yang
sering dijumpai pada bayi yaitu kaki bengkok atau CTEV(Congenital Talipes
Equino Varus). CTEV adalah salah satu anomali ortopedik kongenital yang sudah
lama dideskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka,2002).
CTEV atau biasa disebut Clubfoot merupakan istilah
umum untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah/bengkok dari
keadaan atau posisi normal. Beberapa dari deformitas kaki termasuk deformitas
ankle disebut dengan talipes yang berasal dari kata talus (yang artinya ankle)
dan pes (yang berarti kaki). Deformitas kaki dan ankle dipilah tergantung dari
posisi kelainan ankle dan kaki. Deformitas talipes diantaranya :
- Talipes Varus : inversi atau membengkok ke dalam.
- Talipes Valgus : eversi atau membengkok ke luar.
- Talipes Equinus : plantar fleksi dimana jari-jari
lebih rendah daripada tumit.
- Talipes Calcaneus : dorsofleksi dimana jari-jari
lebih tinggi daripada tumit.
Clubfoot yang terbanyak merupakan kombinasi dari
beberapa posisi dan angka kejadian yang paling tinggi adalah tipe Talipes
Equino Varus (TEV) dimana kaki posisinya melengkung ke bawah dan ke dalam
dengan berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot lebih umum terjadi
dibandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai kelainan yang berhubungan
dengan sindroma lain seperti aberasi kromosomal, artrogriposis (imobilitas umum
dari persendian), cerebral palsy atau spina bifida.
Frekuensi clubfoot dari populasi umum adalah 1:700
sampai 1:1000 kelahiran hidup dimana anak laki-laki dua kali lebih sering
daripada perempuan. Berdasarkan data, 35% terjadi pada kembar monozigot dan
hanya 3% pada kembar dizigot. Ini menunjukkan adanya peranan faktor genetika.
Insidensi pada laki-laki 65% kasus, sedangkan pada perempuan 30-40% kasus. Pada
pasien pengambilan cairan amnion, deformitas ekstrimitas bawah kira-kira
mencapai 1-1,4% kasus. Sedangkan pada ibu yang mengalami
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian dari
CTEV ?
2. Bagaimana patofisiologi dari CTEV
?
1.3 Tujuan
- Tujuan
Umum
Mengetahui dan memahami patofisiologi CTEV
1. Tujuan
Khusus
1.
Mengetahui definisi CTEV.
2.
Mengetahui penyebab dari CTEV.
3.
Mengetahui klasifikasi
dari CTEV.
4.
Mengetahui patofisiologi dari CTEV.
5.
Mengetahui manifestasi klinis dari
CTEV.
6.
Mengetahui pemeriksaan diagnostik
CTEV.
7.
Mengetahui penatalaksanaan pada
klien dengan CTEV.
8.
Mengetahui komplikasi dari CTEV.
1.4 Manfaat
1.Mahasiswa
dapat memahami konsep teori dan patofisiologis dari CTEV.
2.Mahasiswa mengetahui
asuhan pada klien dengan CTEV.
3.Mahasiswa
serta masyarakat dapat menggunakan makalah ini sebagai referensi untuk menambah
ilmu pengetahuan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
DEFINISI
Anomali
pada ekstremitas dapat berdiri sendiri,tetapi dapat pula berhubungan dengan
kelainan kongenital lain hingga merupakan suatu kelainan yang multiple. Salah
satu anomali ekstremitas yang telah lama di kenal adalah pengaruh pemakaian
tali domik pada kehamilan trimester pertama yang mengakibatkan terjadinya gangguan
atau defek selama pertumbuhan ektremitas bayi dalam. Beberapa anomali
ekstremitas yang menyebab spesifiknya tidak diketahui dengan pasti(selain
kelainan akibat pengaruh tali domik) dan mungkin dijumpai dalam pratek
sehari-hari.
Macam –macam anomali ekstremitas
yang sering dijumpai:
1.Polydactili
Polidaktili
merupakan kelainan pertumbuhan jari sehingga jumlah jari pada tangan atau
kaki lebih dari lima. Polidaktili terjadi pada 1 dari
1.000 kelahiran.
Penyebabnya bisa karena kelainan genetika
atau faktor keturunan. Bentuknya bisa berupa gumpalan daging, jaringan lunak,
atau sebuah jari lengkap dengan kuku dan ruas-ruas yang berfungsi normal. Tapi,
umumnya hanya berupa tonjolan daging kecil atau gumpalan daging bertulang yang
tumbuh di sisi luar ibu jari atau jari kelingking.
Gambar polidaktili
pada jari tangan
2.Syndactyly
Sindaktili merupakan
kelainan jari berupa pelekatan dua jari atau lebih sehingga telapak tangan
menjadi berbentuk seperti kaki bebek atau angsa (webbed fingers). Dalam keadaan
normal, ada sejumlah gen yang membawa “perintah” kepada deretan sel di antara
dua jari untuk mati, sehingga kedua jari tersebut menjadi terpisah sempurna.
Pada kelainan ini, gen tersebut mengalami gangguan. Akibatnya, jari-jari tetap menyatu
dan tidak terpisah menjadi lima jari.
Penyebabnya kebanyakan akibat kelainan genetika
atau keadaan di dalam rahim yang menyebabkan posisi janin tidak normal, cairan
amnion pecah, atau obat-obatan tertentu yang dikonsumsi ibu selama masa
kehamilan. Apabila penyebabnya akibat kelainan genetika, maka tidak dapat
dilakukan pencegahan. Kemungkinannya dapat diperkecil bila penyebabnya adalah
obat-obatan yang dikonsumsi ibu selama hamil.
Gambar syndaktily pada
jari kaki
Gambar tipe-tipe syndaktily
Amelia
gangguan kelahiran yang sangat langka di mana anak
tersebut dilahirkan tanpa tangan dan kaki. Satu atau lebih lengan atau kaki
tidak pernah berkembang selama pertumbuhan janin dan akan hilang saat anak
dilahirkan.
umumnya bayi juga bisa menderita kelainan bentuk
lainnya, seperti kelainan wajah, jantung, komplikasi sistem kerangka dan saraf
dan malformasi genital. komplikasi pada Pernapasan umum terjadi karena
paru-paru tidak berkembang dan terbentuk dengan baik.Kebanyakan kasus Bayi yang
dilahirkan akan meninggal dunia setelah dilahirkan karena komplikasi yang
parah.
( PENYEBABNYA) Peneliti menemukan mutasi pada gen pada
orang dengan sindrom Tetra-Amelia dari satu keluarga besar. gen ini merupakan
bagian dari keluarga gen yang memainkan peran penting dalam pengembangan
sebelum kelahiran. Jadi Sindrom ini bisa dibawa oleh faktor Keturunan..namun
probabilitasnya Kecil.
Gambar amelia
Brakidaktili
Brakidaktili adalah cacat lahir kongenital
ditandai dengan jari tangan atau jari kaki yang lebih pendek dari biasanya.
Kecacatan ini disebabkan karena keterbelakangan perkembangan tulang tangan dan
kaki janin sewaktu minggu ke delapan kehamilan. Anak-anak yang menderita
kondisi ini dapat menunjukkan gejala penurunan rentang pergerakan jari tangan
dan jari kaki. Ketika penyebab pasti dari kondisi ini tidak diketahui, biasanya
berhubungan dengan riwayat keluarga adanya kondisi medis seperti ini. Terdapat
lima tipe utama Brakidaktili, tergantung dari jari tanga atau jari kaki
spesifik yang terkena. Untungnya, cacat lahir ini tidak mengancam jiwa dan
biasanya tidak memerlukan penanganan. Pada kasus berat, pembedahan plastik
dapat dilakukan untuk memperbaiki fungsi tangan.
Gambar brakilidaktili
Lobster Claw Syndrome – Ectrodactyly
Ectrodactyly, juga dikenal sebagai Sindrom Lobster Claw atau Syndrome malformasi Kaki Tangan ini terdiri dari jari tengah atau jari kaki yang hilang. Tangan orang penderita Ectrodactyly umumnya seperti capit dan bahkan ada juga hanya satu buah jari.
Ectrodactyly atau Lobster Claw Syndrome dapat disebabkan oleh mutasi kromosom 7 dan genetik. Mutasi Kromosom 7 juga dapat menyebabkan kondisi seperti gangguan pertumbuhan, hernia, dan gangguan pendengaran. Karena itu, Ectrodactyly atau Lobster Claw Syndrome biasanya terjadi bersama dengan kelainan fungsi indera lainnya.
Gambar Lobster Claw
Syndrome – Ectrodactyly
Kelainan
kongenital pada tungkai bawah yang sering di jumpai adalah clubfoot atau CTEV.
1.
CTEV
Congenital
Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi, supinasi
dan varus. Tulang calcaneus, navicular
dan cuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi
adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang
metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.
Penyebab CTEV
Penyebab utama CTEV tidak diketahui. Adanya berbagai
macam teori penyebab terjadinnya CTEV menggambarkan betapa sulitnya membedakan antara
CTEV primer dengan CTEV sekunder karena suatu proses adaptasi.
Beberapa teori mengenai penyebab terjadinya CTEV:
- Teori
kromosomal, antara lain defek dari sel germinativum yang tidak dibuahi dan
muncul sebelum fertilisasi.
- Teori
embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel germinativum
yang dibuahi (dikutip dari Irani dan Sherman) yang mengimplikasikan defek
terjadi antara masa konsepsi dan minggu ke-12 kehamilan.
- Teori
otogenik, yaitu teori perkembangan yang terhambat, antara lain hambatan
temporer dari perkembangan yang terjadi pada atau sekitar minggu ke-7
sampai ke-8 gestasi. Pada masa ini terjadi suatu deformitas clubfoot yang
jelas, namun bila hambatan ini terjadi setelah minggu ke-9, terjadilah
deformitas clubfoot yang ringan hingga sedang. Teori hambatan
perkembangan ini dihubungkan dengan perubahan pada faktor genetic yang
dikenal sebagai “Cronon”. “Cronon” ini memandu waktu yang
tepat dari modifikasi progresif setiap struktur tubuh semasa
perkembangannya. Karenanya, clubfoot terjadi karena elemen disruptif
(lokal maupun umum) yang menyebabkan perubahan faktor genetic (cronon).
- Teori
fetus, yakni blok mekanik pada perkembangan akibat intrauterine
crowding.
- Teori
neurogenik, yakni defek primer pada jaringan neurogenik.
- Teori
amiogenik, bahwa defek primer terjadi di otot.
.
2.6 PATOFISIOLOGI2
Beberapa teori yang mendukung
patogenesis terjadinya CTEV, antara lain:
a. terhambatnya perkembangan fetus pada
fase fibular
b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c.
faktor
neurogenik
telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot
peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya perubahan
inervasi intrauterine karena penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini
didukung dengan adanya insiden CTEV pada 35% bayi dengan spina bifida.
d.
Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di
otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan
kolagen yang sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur
tendon (kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringan
kolagen yang sangat padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk, menemukan adanya
mioblast pada fasia medialis menggunakan mikroskop elektron. Mereka
menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang menyebaban kontraktur medial.
e.
Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali
pada insersi tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal
ini dikarenakan adanya distorsi pada posisi anatomis CTEV yang membuat tampak
terlihat adanya kelainan pada insersi tendon.
f.
Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan
insiden epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi yang
serupa pada insiden kasus poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupakan
keadaan sequele dari prenatal poliolike
condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada
spinal cord anterior bayi-bayi tersebut.
2.7 GAMBARAN
KLINIK1,3,4
Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit
neuromuskuler dalam keluarga. Lakukan pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi
ada tidaknya kelainan lain. Periksa kaki dengan bayi dalam keadaan tengkurap,
sehingga dapat terlihat bagian plantar. Periksa juga dengan posisi bayi supine
untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus.
Deformitas yang serupa dapat ditemui
pada myelomeningocele dan arthrogryposis. Pergelangan kaki berada dalam posisi
equinus dan kaki berada dalam posisi supinasi (varus) serta adduksi.
Tulang navicular dan kuboid bergeser ke
arah lebih medial. Terjadi kontraktur
pada jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya
berada dalam posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah
medial disertai rotasi ke arah lateral pada bagian posteriornya.
Tumit tampak kecil dan kosong. Pada
perabaan tumit akan terasa lembut (seperti pipi). Sejalan dengan terapi yang
diberikan, maka tumit akan terisi kembali dan pada perabaan akan terasa lebih
keras (seperti meraba hidung atau dagu).
Karena bagian lateralnya tidak
tertutup, maka leher talus dapat dengan mudah teraba pada sinus tarsalis.
Normalnya leher talus tertutup oleh navikular dan badan talus. Maleolus medial
menjadi susah diraba dan pada umumnya menempel pada navikular. Jarak yang
normal terdapat antara navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia sering
mengalami rotasi internal.
2.8
GAMBARAN RADIOLOGIS6,8
Ø
Radiographi
Gambaran radiologis dari CTEV adalah adanya kesejajaran antara tulang talus
dan kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis memiliki arti
yang sangat penting. Posisi anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi
terhadap plantar sebesar 30º dan posisi tabung
30° dari keadaan vertikal. Posisi lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º.
Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan
plantar fleksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus
dan kalkaneus.
Mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis AP digambar
melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta
melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai
normalnya adalah antara 25-40°. Bila ditemukan adanya sudut kurang dari 20°
maka dikatakan abnormal.
Garis anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring
dengan terapi yang diberikan, baik dengan casting maupun operasi, maka tulang
kalkaneus akan berotasi ke arah eksternal, diikuti dengan talus yang juga
mengalami derotasi. Dengan begitu maka akan terbentuk sudut talokalkaneus yang
adekuat.
Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang
talus serta sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°,
sedang pada CTEV nialinya berkisar antara 35° dan negatif 10°.
Sudut dari dua sisi ini (AP and lateral) ditambahkan untuk mengetahui
indeks talokalkaneus, dimana pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki
nilai lebih dari 40°.
Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular
dan metatarsal pertama.
Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi
maksimal dorsofleksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk
mendiagnosa CTEV yang tidak dikoreksi.
2.9 TERAPI2,3,4,5,9
2.9.1 Terapi Medis
Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas
yang ada dan mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya
pertumbuhan tulang.
Secara
tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu :
·
CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting dan
pemasangan gips.
- CTEV resisten yang memberikan
respon minimal terhadap penata laksanaan dengan pemasangan gips dan dapat
relaps ccepat walaupun sepertinya berhasil dengan terapi manipulatif. Pada
kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.
Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof.
dr. Shafiq Pirani, seorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan
The Pirani Scoring System. Dengan menggunakan sistem ini, kita dapat
mengidentifikasi tingkat keparahan dan memonitor perkembangan suatu kasus CTEV
selama koreksi dilakukan.
Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot
dan midfoot. Untuk hindfoot, kategori
terbagi menjadi tonjolan posterior/posterior crease (PC), kekosongan
tumit/emptiness of the heel (EH), dan derajat dorsofleksi yang terjadi/degree
of dorsiflexion (DF). Sedangkan untuk kategori midfoot, terbagi menjadi
kelengkungan batas lateral/curvature of the lateral border (CLB), tonjolan di
sisi medial/medial crease (MC) dan tereksposnya kepala lateral talus/uncovering
of the lateral head of the talus (LHT).
Cara untuk menghitung Pirani Score adalah sebagai berikut :
a.
Curvature
of the Lateral Border of the foot (CLB)
Batasan
lateral dari kaki normalnya lurus. Adanya batas kaki yang nampak melengkung
menandakan terdapatnya kontraktur medial.
Lihat pada bagian plantar pedis dan letakkan
batangan/penggaris di bagian lateral kaki. Normalnya, batas lateral kaki nampak
lurus, mulai dari tumit sampai ke kepala metatarsal kelima. Apabila didapatkan
batas lateral kaki lurus, maka skor yang diberikan adalah 0.
Pada kaki yang abnormal, batas lateral nampak
menjauhi garis lurus tersebut. Batas lateral yanng nampak melengkung ringan
diberi nilai 0,5 (lengkungan terlihat di bagian distal kaki pada area sekitar
metatarsal).
Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas
diberi nilai 1 (kelengkungan tersebut nampak setinggi persendian
kalkaneokuboid).
B. Medial crease of the foot (MC)
Pada keadaan normal, kulit pada daerah
telapak kaki akan memperlihatkan garis-garis halus. Lipatan kulit yang lebih
dalam dapat menandakan adanya kontraktur di daerah medial. Pegang kaki dan
tarik dengan lembut saat memeriksa.
Lihatlah pada lengkung dari batas medial kaki.
Normalnya akan terlihat adanya garis-garis halus pada kulit telapak kaki yang
tidak merubah kontur dari lengkung medial tersebut. Pada keadaan seperti ini,
maka nilai dari MC adalah 0.
Pada kaki yang abnormal, maka akan nampak adanya
satu atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila hal ini tidak terlalu banyak
mempengaruhi kontur lengkung medial, maka nilai MC adalah sebesar 0,5.
Apabila lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas
mempengaruhi kontur batas medial kaki, maka nilai MC adalah sebesar 1.
C.
Posterior crease of the ankle (PC)
Pada
keadaan normal, kulit pada bagian tumit posterior akan memperlihatkan lipatan
kulit multipel halus. Apabila terdapat adanya lipatan kulit yang lebih dalam,
maka hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan kontraktur posterior yang
lebih berat. Tarik kaki dengan lembut saat memeriksa.
Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan
terlihat adanya garis-garis halus yang tidak merubah kontur dari tumit.
Lipatan-lipatan ini menyebabkan kulit dapat menyesuaikan diri, sehingga dapat
meregang saat kaki dalam posisi dorsofleksi. Pada kondisi ini, maka nilai untuk
PC adalah 0.
Pada kaki yang abnormal, maka akan didapatkan satu
atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila lipatan ini tidaak terlalu
mempengaruhi kontur dari tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 0,5.
Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit
yang dalam di daerah tumit dan hal tersebut merubah kontur tumit, maka nilai
dari PC adalah sebesar 1.
D. Lateral part of the Head of the Talus
(LHT)
Pada
kasus CTEV yang tidak diterapi, maka pemeriksa dapat meraba kepala Talus di
bagian lateral. Dengan terkoreksinya deformitas, maka tulang navikular akan
turun menutupi kepala talus, kemudian hal tersebut akan membuat menjadi lebih
sulit teraba, dan pada akhirnya tidak dapat teraba sama sekali. Tanda “turunnya
navikular menutupi kepala talus” adalah pengukur besarnya kontraktur di daerah
medial.
Penatalaksanaan non
operatif
Dengan
penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint dimulai pada
bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut :
1. Adduksi dari forefoot
- Supinasi forefoot
- Equinus
Usaha-usaha
untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi dapat mematahkan kaki
pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom
foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan
kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini
dengan cara menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari sekali,
atau dipertahankan menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal
ini dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat
lagi dilakukan koreksi selanjutnya.
Posisi
kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa bulan.
Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat nampak adanya kegagalan
terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas yang menetap,
deformitas berupa rockerbottomfoot
atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi dihentikan.
Setelah
pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas CTEV,
apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini
dikonfirmasi dengan menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan penghitungan
orientasi tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat kesuksesan dengan
menggunakan metode ini adalah sebesar 11-58%.
Metode Ponseti
Metode ini
dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa. Metode ini
dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang dilakukan oleh
dr. Ponseti. langkah-langkah yang harus
diambil adalah sebagai berikut :
- Deformitas
utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus
ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki berada dalam
posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar.
Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi.
Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kasus CTEV, maka tulang
kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan kebawah talus. Koreksi
dilakukan melalui lengkung normal dari persendian subtalus. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara meletakkan jari telunjuk operator di maleolus
medialis untuk menstabilkan kaki dan kemudian mengangkat ibu jari dan
diletakkan di bagian lateral dari kepala talus, sementara kita melakukan
gerakan abduksi pada forefoot
dengan arah supinasi.
- Cavus kaki
akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi
pronasi. Apabila ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi
kaki adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut, untuk
mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot dapat diposisikan abduksi
seperti yang tertulis dalam langkah pertama.
- Saat kaki diletakkan
dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan tulang kalkaneus
berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka tulang kalkaneus tidak
dapat berotasi dan menetap pada posisi varus. Sepertitertulis pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini
dapat menyebabkan tejadinya bean-shaped
foot. Pada akhir langkah
pertama, maka kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak pernah pronasi.
4.
Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki
dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah
memasang long leg castuntuk
mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus dipasang dengan
bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah selanjutnya adalah
menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk melekatkan kaki dengan bantalan
gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk memasang bantalan tambahan sepanjang
batas medial dan lateral kaki, agar aman saat melepaskan gips menggunakan
gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau
mengobliterasi arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90° selama
pemasangan gips panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama 30-45
menit sebelum dilepas. Dr. Ponsetti memilih melepaskan gips dengan cara
menggunakan gergaji yang berosilasi (berputar). Gips ini dibelah menjadi dua dan
dilepas, kemudian disatukan kembali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
perkembangan abduksi forefoot,
selanjutnya hal ini dapat digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta
megetahui koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5.
Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles
yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot
dan berakhir dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan kaki yang abnormal (cavus) harus
diterapi secara terpisah, seperti yang digambarkan pada langkah kedua,
sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan abduksi
kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi yang dilakukan
(usaha untuk membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat dianggap adekuat bila
aksis paha dan kaki sebesar 60°
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutukan
dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles. Hal ini dilakukan dalam
keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan kombinasi antara lignokain
topikal dan infiltrasi lokal minimal menggunakan lidokain. Tenotomi dilakukan
dengan cara membuat irisan menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka post
operasi kemudian ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat
diabsorbsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada pada
posisi dorsofleksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3 minggu.
- Langkah selanjutnya
setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang dipasangkan pada
lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah diposisikan abduksi (rotasi
ekstrim) hingga 70°. with the
unaffected foot set at 45° of abduction. Sepatu ini juga memiliki
bantalan di tumit untuk mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini
digunakan 23 jam sehari selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang
dan malam selama 3 tahun.
- Pada kurang lebih 10-30%
kasus, tendon dari titbialis anterior dapat berpindah ke bagian lateral
Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat koreksi kaki dapat
bertahan lebih lama, mencegah adduksi metatarsal dan inversi kaki.
Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-2.5 tahun, dengan cara
supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa
minggu.
2.9.2
TERAPI OPERATIF2,8
a. Insisi
Beberapa
pilihan untuk insisi, antara lain :
- Cincinnati : jenis ini berupa
insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian
navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal
dan medial sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki
setinggi sendi tibiotalus.
- Insisi
Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat menyebabkan
luka terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial kaki. Untuk
menghindari hal ini, beberapa operator memilih beberapa jalan, antara lain
:
- Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal,
medial, dan lateral
- Dua insisi terpisah -
Curvilinear medial dan posterolateral
Banyak
pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi operatif di semua
kuadran. Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara lain :
- Plantar : Plantar fascia,
abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen plantaris panjang dan
pendek
- Medial : struktur-struktur
medial, selubung tendon, pelepasan
talonavicular dan subtalar,
tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL
- Posterior : kapsulotomi
persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan ligamen talofibular
posterior dan tibiofibular, serta ligamen kalkaneofibular
- Lateral : struktur-struktur
lateral, selubung peroneal, pesendian kalkaneokuboid, serta pelepasan
ligamen talonavikular dan subtalar
Pendekatan manapun yang
dilakukan harus bisa menghasilkan paparan yang adekuat. Struktur-struktur yang
harus dilepaskan atau diregangkan adalah sebagai berikut :
- Tendon Achilles
- Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi
subtalar.
- Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen
Deltoid.
- Ligamen tibiofibular inferior
- Ligamen fibulocalcaneal
- Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.
- Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik
Aksis longitudinal dari
talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari proyeksi lateral.
Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di
persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat
dilakukan menggunakan gips. Luka paska operasi yang terjadi tidak boleh ditutup
dengan paksa. Luka tersebut dapat dibiarkan terbuka agar membentuk jaringan
granulasi atau bahkan nantinya dapat dilakukan cangkok kulit.
Penatalaksanaan
dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari pasien :
- Pada anak kurang dari 5 tahun,
maka koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur jaringan lunak.
- Untuk anak lebih dari 5 tahun,
maka hal tersebut membutuhkan pembentukan ulang tulang/bony reshaping
(misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid [prosedur
Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).
- Apabila anak berusia lebih
dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau
arthrodesis.).
Harus
diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit paska operasi
sulit dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka agar dapat
terjadi reaksi ganulasi, untuk kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan
primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi
defek luka paska operasi. Perban hanya boleh dipasang longgar dan harus
diperiksa secara reguler.
2.10
KOMPLIKASI2,7,8
- Infeksi (jarang)
- Kekakuan dan keterbatasan
gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal berhubungan dengan hasil yang
kurang baik.
- Nekrosis avaskular talus :
sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul pada tehnik kombinasi
pelepasan medial dan lateralis.
Dapat
terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :
- Pelepasan ligamen interoseus
dari persendian subtalus
- Perpindahan tulang navikular
yang berlebihan ke arah lateral
- Adanya perpanjangan tendon
2.11 Diagnosis
- Kelainan
ini mudah didiagnosis, dan biasanya terlihat nyata pada waktu lahir (early
diagnosis after birth). Pada bayi yang normal dengan equinovarus postural,
kaki dapat mengalami dorsifleksi dan eversi hingga jari-jari kaki
menyentuh bagian depan tibia. "Passive manipulation dorsiflexion →
Toe touching tibia → normal".
- Bentuk
dari kaki sangat khas. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi.
Ibu jari kaki terlihat relatif memendek. Bagian lateral kaki cembung,
bagian medial kaki cekung dengan alur atau cekungan pada bagian medial
plantar kaki. Kaki bagian belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami
inversi, terdapat lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas
belakang sendi pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis,
tumit terlihat kecil dan sulit dipalpasi. Pada manipulasi akan terasa kaki
kaku, kaki depan tidak dapat diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang
tidak dapat dieversikan dari posisi varus. Kaki yang kaku ini yang
membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau positional
karena posisi intra uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi
normal. Luas gerak sendi pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat
didorsofleksikan ke posisi netral, bila disorsofleksikan akan menyebabkan
terjadinya deformitas rocker-bottom dengan posisi tumit equinus dan
dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat
pada kalkaneus, pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak
terjadi pergerakan maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat
penonjolan korpus talus pada bagian bawahnya. Tulang kuboid mengalami
pergeseran ke medial pada bagian distal anterior tulang kalkaneus. Tulang
navicularis mengalami pergeseran medial, plantar dan terlambat pada
maleolus medialis, tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan
tulang navikularis. Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85°
menjadi 55° karena adanya perputaran subtalar ke medial.
- Terdapat
ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis
anterior dan posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan
otot-otot peroneal lemah dan memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki
normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari kaki memendek. Otot
triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.
- Tulang
belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya spina bifida.
Sendi lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus diperiksa
untuk melihat adanya subluksasi atau dislokasi. Pmeriksaan penderita harus
selengkap mungkin secara sistematis seperti yang dianjurkan oleh R.
Siffert yang dia sebut sebagai Orthopaedic checklist untuk menyingkirkan
malformasi multiple.
2.12
PROGNOSIS2,5,6
·
Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat
dikoreksi tanpa tindakan operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan
sebesar 89% dengan menggunakan tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon
Achilles). Peneliti lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-35%.
Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-90%, baik dari
segi penampilan maupun fungsi kaki.
·
Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81%
kasus. Faktor utama yang mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan
pergerakan kaki, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh derajat pendataran kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan
persen dari pasien dengan kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut
(hampir 2/3 nya adalah prosedur pembentukan ulang tulang).
·
Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada
usia lebih dari 3 bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).
2.
TALIPES KALKANEOVALGUS
Kelaininan ini merupakan kelainan ke dua yang tersering di
jumpai dalam kelompok clubfoot. Umumnya bersifat ringan dan biasanya di
sebabkan oleh malposisi selama kekidupan intrauterin. Bila telapak kaki dapat
di gerakan secara pasif kearah sisi yang bertentangan, maka pengobatan dengan
latihan sejak bayi lahir akan dapat menolong. Bila telapak kaki tidak dapat di
gerakan secara pasif dan tetap kaku maka intervensi ortopedik tidak di perlukan
seperti tindakan pemasangan pembalut atau pemasangan gips.
3.
TALIPES VARUS(METATARSUS PRIMUSVARUS)
Pada jenis kelainan ini secara klinis terlihat adanya
defornitas aduksi pada metarsal lainnya. Bagian dalam telapak kaki melengkung
kedalam, dan terlihat jarak yang melebar anatara jarak kaki pertama dengan
kedua. Bila pengobatan dengan pembalut elastik atau gips di lakukan sedini
dininya maka kelainan ini cepat sembuh.
4.
METATARSUS VARUS (METARSUS ADUKTUS)
Pada gambaran klinisnya terlihat telapak kaki dan seluruh
lima metatarsal mengalami aduksi dan menekuk pada sendi tarsometetersal.
Kelainan ini umumnya disertai adanya torsi tibia bagian dalam dan sering
tersifat bilateral. Walaupun agak sering ditemukan, umumnya kelainan ini
bersifat ringan dan fleksibel serta sembuh dengan cara latihan. Bila
kelainannya agak berat dan kaku maka diperlukan fiksasi dengan gips.
5.
DISLOKASI KONGINATAL SENDI PANGGUL
Dislokasi konginatal ini merupakan salah satu kelainan
sistem muskuloskeletal yang perlu mendapat perhatian. Kelainan ini sering
ditemukan seperti halnya clubfoot, tetapi jarang diketahui pada waktu lahir
karena memerlukan cara pemeriksaan tertentu . kelainan ini dapat berbentuk
sebagai dislokasi atau luksasi, disini kaput femoris keluar dari asetabulum tetapi
masih terletak dalam kapsul sendi, atau bentuk subluksai, dalam hal ini kaput
femoris bergeser sampai bibir asetabulum. Pada bentuk yang terakhir ini
deposisi masih muda dilakukan. Angka kejadian kelainan konginatal ini
diperkirakan 1 per 1000 kelahiran hidup. Kejadian pada sendi kiri 3 kali lebih
sering dibandingkan dengan sendi kanan, sedangkan kejadian bilateral ditemukan
1 diantara 4 penderita kelainan konginatal ini. Kejadian pada bayi perempuan 7
kali lebih sering dari pada lelaki, mungkin berhubungan dengan metabolisme
hormon estrogen.
Penyebab
kelainan konginatal ini diduga dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Dispasia primer asetabulum yang menyebabkan lekungan dangkal
asetabulum disertai adanya lengkungan datar kaput femoris atau kaput femoris
berukuran kecil walaupun konfigurasinya normal, dapat merupakan faktor
prediksposisi dislokasi konginatal sendi panggul. Displasia asetabulum dapat
ditemukan pada salah satu diantara orang tua bayi, diduga berhubungan dengan
faktor genetik, walaupun mungkin bersifat multifaktoral. Faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap kelainan kongenital ini adalah letak sungsang dengan
posisi flaksi sendi panggul ekstensi sendi lutut. Kejadian kelainan kongenital
ini lebih sering ditemukan pada bayi letak sungsang dibandingkan dengan bayi
letak normal.
Diagnosis
umumnya berdasarkan pada evaluasi klinis. Pemeriksaan radiolgi pada periode
neonatus hanya membantu sedikit untuk menegakkan diagnosinya. Evaluasi klinis
dilakukan dengan perasat Ortholani. Perasat
ini masih menunjukkan beberapa kelemahan, diantaranya adalah pada waktu kaput
femoris secara perlahan meluncur bibir asetabulum tidak menimbulkan suara
klinik. Keadaan ini disebabkan karena bibir asetabulum masih lunak. Untuk
mengurangi kesalahan pemeriksaan maka sebaiknya dilakukan pola pemerisaan
dengan modifikasi prasat tersebut.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
CTEV/ Club Foot adalah deformitas yang
meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki
depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of Surgery, Schwartz). Deformitas
kaki dan ankle dipilah tergantung dari posisi kelainan ankle dan kaki. Sampai
saat ini penyebab utama terjadinya kaki bengkok ( CTEV ) tidak diketahui secara
pasti. Namun telah terbukti bahwa perkembangan tulang, sendi, jaringan ikat,
persarafan, pembuluh darah dan otot masing-masing terlibat dalam proses
patofisiologi. Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi
abnormal atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain mengatakan bahwa
kelainan terjadi karena perkembangan embryonic yang abnormal yaitu saat
perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi pada bulan ke-7 kehamilan.
Pertumbuhan yang terganggu pada fase tersebut akan menimbulkan deformitas
dimana dipengaruhi pula oleh tekanan intrauterine.
3.2
Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini,
kita sebagai perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
penderita CTEV dan memberikan Health Education pada keluarga yang memiliki anak
dengan CTEV.
.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Meidzybrodzka, Z. 2002. Congenital Talipes Eqinovarus (clubfoot): disorder
of the foot but not the hand. www.anatomisociety.com [29 juli 2008].
4.
Nordin, S. 2002. Controversies In Congenital Clubfoot: Literature Review. www.mjm.com [29 juli 2008].
5.
Pirani, S. 1991. A Relible & Valid Method of Assesing the Amount of
Deformity in the Congenital Clubfoot Deformity. www.ubc.com [2 juli 2008].
6.
Anonym. 2006. Brith Defect Risk Factor Series: Talipes Equinovarus
(clubfoot). www.statehealth.com [2 juli 2008].
8.
Hussain, S. et al. 2007 Gomal Journal of Medical Sciences July – Dec 2007, Vol. 5, No. 2. Turco’s Postero
– Medial Release for Congenital Talipes
Equinovarus. www.gjm.com [5 juli 2008].
9.
Soule, R. E. 2008. Treatment of Congenital Talipes Equinovarus in Infancy
and Early Chlidhood. www.jbjs.com [5 juli 2008].
10.
Kler, J. et al. 2005 Treatment
Methods of Congenital Talipes Equinovarus-three case reports. www.jpn-online.com [7 juli 2008].
11.
Yeung EHK. et al. 2005 Radiografic
Assesment of Congenital Talipes Equinovarus: Strapping versus Forced
Dorsoflexion. www.jos.com [7 juli 2008].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar